Cerpen Karya :
R.R Salsabila febrina Laksonowedi

Malam sunyi penuh keheningan, tembok kamar menjadi saksi bisu akan sosok sebenarnya dari seorang gadis yang selama ini hanya tersenyum. Sisi dirinya yang tak bisa ia tunjukkan ke dunia luar sana, di dalam ruangan sempit itu tanpa mengkhawatirkan apapun ia dapat menjadi dirinya sendiri.

Terlihat bulir air menetes dari sudut matanya, perlahan menjadi aliran yang lebih deras. Cara terbaik untuk meluapkan perasaan yang tak dapat ia ungkapkan adalah dengan seperti ini, menangis.

*
Dessa, ia gadis dinilai selalu terlihat ceria di mata orang-orang di sekitarnya. Ia tanpa ragu menunjukkan senyumnya pada dunia, seperti saat ini contohnya. Ia sedang bersama dengan teman-teman satu kelompoknya, membahas tugas yang akan mereka presentasikan minggu depan. Dessa cukup bisa membaur dalam situasi ini, walau tak banyak berkontribusi ia tetap berusaha untuk turut andil dalam diskusi tugas mereka. Ia sebenarnya bukan seseorang yang suka menghabiskan waktu dengan banyak orang dan berbicara banyak. Namun, mau bagaimana lagi kalau gurunya memberikan tugas kelompok, apa daya ia tak bisa menolak.

“Des, nanti jelasin bagian ini ya, sekalian penutup.” Salah seorang temannya menunjukkan layar laptop yang sudah berisi rincian materi, ia menunjuk salah satu bagian yang akan menjadi tugas Dessa.

“Ah ok.” Dessa menjawab dengan mengacungkan jempol, tak lupa dengan senyuman yang tak lepas dari wajahnya.

Tanpa sadar, di sudut seberang sana ada sepasang mata yang memperhatikan Dessa dengan seksama. Setiap pergerakan Dessa ia perhatikan secara menyeluruh. Termasuk Dessa yang menunduk dan menghembuskan nafas berat setelah menyelesaikan pembicaraan dengan teman sekelompok nya yang lain.

Setelah beberapa jam menyusun dan membicarakan banyak hal, akhirnya tugas mereka selesai juga. Yang tersisa hanya menghafal dan mempresentasikan nya saja.

“Thea makasih ya udah boleh numpang nugas di sini.” Hari ini memang mereka mengerjakan tugas kelompok ini di rumah Althea, karena di rasa lebih nyaman dari pada mengerjakan di tempat luar, seperti cafe atau perpustakaan.

“Santai aja kali, aku kan juga anggota kelompok. Kalau ada revisi kerjain disini aja lagi.” Althea menjawab santai sambil mengibaskan tangannya, tanda tak perlu mempermasalahkan hal tersebut.

“Aaaa Thea best deh, lain kali kita harus sekelompok lagi pokoknya, nggak mau tau.” Salah satu teman lain nya menimpali sambil memeluk erat Althea. Yang di peluk hanya tersenyum sambil membalas pelukan tersebut.

“Ya udah kami pulang dulu ya, makasih Thea.” Satu persatu teman sekelompok nya mulai keluar, meninggalkan Althea seorang diri.

Tepat saat Dessa akan menunduk untuk memakai sepatunya, tiba-tiba ada sebuah tangan yang menarik pergelangan tangannya, membuat Dessa kembali berdiri. Itu adalah tangan Althea.

“Jangan pulang dulu, ada yang mau ku omongin.” Ucap Althea pada Dessa.

Dessa pun mengangguk dan mengikuti Althea yang masih menggenggam pergelangan tangannya. Ia kembali duduk di sofa ruang tamu, kemudian Althea masuk ke dapur untuk mengambil minum.

Begitu Althea kembali, ia duduk di samping Dessa dan bertanya padanya, “Ada apa?” Pertanyaan singkat ini hanya di respon dengan tatapan bingung Dessa.

“Kita temenan udah lama ya, jangan kira aku nggak tau kalau kamu ada masalah. Dari tadi kamu kepikiran sesuatu kan. Jadi ada masalah apa?” Althea menjelaskan maksud dari pertanyaan nya sebelumnya. Dessa masih diam, enggan menjawab.

“Aku cerita ke kamu, kamu cerita ke aku. Bukannya kita selalu ngelakuin ini?” Althea kembali menyakinkan Dessa untuk bercerita, kini ia menggenggam kedua tangan Dessa.

“Kalau di pikir-pikir selama ini kamu jarang cerita hal yang buruk atau menyulitkan buat mu.” Ucap Althea lagi.

Dessa menunduk, Althea memang teman masa kecilnya. Mereka sudah mengenal satu sama lain sejak lama sekali. Tak heran jika ia dapat mengetahui bahwa ada yang tidak beres dengan dirinya hanya dengan melihat gerak-gerik nya.

Tanpa sadar air matanya menetes.

Entah kapan terkahir kali ia bisa menangis di hadapan orang lain, hanya Althea yang dapat membuatnya seperti ini.

“Sudah sejak lama perasaan percaya diriku hilang untuk berbicara di depan orang banyak. Aku takut, apa lagi hal ini juga dapat merugikan orang lain.” Jawab Dessa di sela tangisnya.

“Maaf tidak bisa memberitahu mu lebih cepat, aku hanya tidak ingin mengganggu. Kau juga pasti punya masalah mu sendiri kan?” Lanjut Dessa.

Tanpa pikir panjang Althea memeluk Dessa, “Tidak perlu meminta maaf, jangan khawatirkan hal yang tidak perlu. Ada aku disini kau bisa cerita padaku seperti aku cerita pada mu. Sekarang jangan takut, dan menangislah. Aku tahu kau sudah memendam ini cukup lama.” Ucap Althea masih dengan posisi memeluk Dessa.

Mereka terus berada dalam posisi itu hingga beberapa waktu yang cukup lama. Hingga Dessa merasa sudah cukup meluapkan segala perasaan yang sudah ia tahan sendirian selama ini, hari ini ia bisa membagikan sedikit perasaan sulitnya dengan orang yang ia percaya.

Althea juga ikut meneteskan air mata, turut sedih karena tak bisa memeluk sahabatnya itu lebih cepat.

“Kau sudah berusaha dengan sangat baik, terimakasih karena masih disini.” Ucap Althea sambil menatap mata sembab Dessa.

Dessa memang tidak sendirian, ia memiliki sahabat yang sangat pengertian pada dirinya. Namun, hal itu tak mengubah pilihannya agar tetap menyimpan satu dua hal untuk dirinya sendiri. Ia tak suka menunjukkan dirinya yang tidak baik-baik saja, toh hal itu tidak akan mengubah apapun. Ia bisa bertahan sendirian, walau cukup sulit. Yang penting, ia tak merepotkan orang lain karena perasaanya dan tetap bisa menjalani kehidupan menyenangkan bersama Althea dan teman-temannya yang lain.

Biarkan orang lain mengetahui cover luarnya, dan bagian dalam dirinya akan ia tutup rapat dari dunia luar. Cukup dirinya saja yang mengetahuinya. Tidak membohongi dirinya sendiri ketika sendirian, itu sudah lebih dari cukup untuknya.