• Jl. Gogor IV No.6-8, Kel. Jajartunggal, Kec. Wiyung, Surabaya, Jawa Timur.
  • (031) 7663913
  • 06.30 WIB s.d 17.00 WIB
  • Jl. Gogor IV No.6-8, Kel. Jajartunggal, Kec. Wiyung, Surabaya, Jawa Timur.
  • (031) 7663913
  • 06.30 WIB s.d 17.00 WIB

MENG – QADHA’ SHALAT

pin up

Oleh : Agus Efendi
Disampaikan pada pertemuan I Majlis Tarjih dan Tajdid di rumah Bpk Ir. Akhlis, Ngadirejo pada hari ahad pon, 10 Januari 2010.

Shalat fardhu atau Shalat lima waktu wajib dilaksanakan tepat pada waktunya, berdasarkan firman Allah SWT,
…..
“Sesungguhnya Shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (An-Nisaa‟: 103).
Oleh karena itu, barangsiapa mengakhirkannya dari waktu yang telah ditentukan tanpa ada halangan (uzur syar‟i), maka ia berdosa. Tetapi, jika dia mengakhirkannya karena suatu halangan, tidaklah berdosa. Halangan-halangan itu ada yang dapat menggugurkan kewajiban Shalat sama sekali dan ada pula yang tidak menggugurkannya sebagaimana akan dijelaskan lebih lanjut dalam pembahasan berikut.

Hal-Hal yang Menggugurkan Shalat
Ada sejumlah halangan atau uzur yang dapat menggugurkan kewajiban Shalat dari seseorang, (tidak ada qadha‟ atasnya) yaitu :
1. Haid dan Nifas
Wanita yang sedang haid atau nifas tidak diwajibkan menunaikan Shalat. Juga tidak wajib mengqadha‟ Shalat-Shalat yang ditinggalkan di saat haid dan nifas tersebut, sekalipun dia harus mengqadha‟ puasa. Hal ini berdasarkan sabda Rasul saw kepada Fatimah binti Abi Hubaisy, “Jika tenyata darah yang keluar itu haid, maka hentikanlah Shalat.”
2. Gila
Kewajiban Shalat itu gugur dari orang gila yang terus-menerus. Namun, orang gila yang kumat-kumatan, ketika sadar wajib mengerjakan Shalat. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah saw, “Beban taklif itu diangkat (oleh Allah) dari tiga golongan: orang tidur sampai bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai dia sadar kembali.” (HR Ahmad, Ashabus Sunan, dan Hakim).
3. Pingsan.
Kewajiban Shalat akan gugur dari orang yang pingsan jika pingsannya berlangsung dalam dua waktu Shalat yang bisa dijamak, seperti seseorang pingsan sebelum masuk waktu Dzuhur sampai dengan matahari terbenam.
4. Murtad
Seseorang yang murtad (keluar dari Islam) kemudian masuk Islam kembali, maka hukumnya sama dengan orang kafir asli, yakni dia tidak wajib mengqadha‟ Shalat. Tetapi, menurut ulama Syafi‟i ia wajib mengqadha‟ semua Shalat yang ia tinggalkan ketika murtad sebagai hukuman kepadanya.

Adapun halangan yang membolehkan seseorang mengakhirkan Shalat dari waktunya (dengan cara di qadha‟), dan tidak berdosa karenanya ialah :
1. Sebab lupa
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. yang menyatakan bahwa siapa yang lupa mengerjakan shalat hendaknya dia shalat kapan saja ketika dia ingat.

2. Sebab tertidur
Sebagaimana pada saat bepergian, Rasulullah Saw, dan rombongan tidur di tengah malam, kemudian bangun paginya sesudah matahari terbit, maka Rasulullah Saw., menyuruh Bilal mengumandangkan azan dan wudhu untuk melaksanakan shalat shubuh.

Bagaimana cara mengqadha’nya?
Para ulama bersepakat bahwa barang siapa yang tertidur atau lupa maka wajib mengqadha‟nya tatkala teringat, namun mereka saling berbeda pendapat, apakah boleh menundanya ketika sudah mengingatnya ataukah harus langsung mengerjakannya .?

Jumhur ulama mewajibkan pelaksanaannya secara langsung. Mereka yang berpendapat seperti ini ialah tiga imam, Abu Hanifah, Malik, Ahmad dan para pengikut mereka. Sementara AsySyafi’i mensunatkan pelaksanaannya secara langsung dan boleh menundanya. Asy-Syafi’i berhujjah bahwa ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat tertidur, mereka tidak melaksanakan qadha’ shalat di tempat mereka tidur. Tapi beliau memerintah-kan agar mereka menghela hewan-hewan mereka ke tempat lain, lalu beliau shalat di tempat tersebut. Sekiranya qadha’ ini wajib dilaksanakan secara langsung seketika itu pula, tentunya mereka juga shalat di tempat mereka tertidur.
Adapun jumhur berhujjah dengan hadits dalam bab ini, yang langsung menyebutkan shalat secara langsung. Mereka menanggapi hujjah Asy-Syafi’i, bahwa makna langsung di sini bukan berarti tidak boleh menundanya barang sejenak, dengan tujuan untuk lebih menyempurnakan shalat dan memurnikannya. Boleh menunda dengan penundaan yang tidak seberapa lama untuk menunggu jama’ah atau memperbanyak orang yang berjama’ah atau lainnya.
Masalah ini dikupas tuntas oleh Ibnul Qayyim di dalam kitab ‘Ash-Shalat’ dan dia menegaskan pendapat yang menyatakan pembolehan penundaannya. Lihat pula kitab Bidayatul mujtahid, Ibnu Ruysd. [Disalin dari kitab Taisirul-Allam Syarh Umdatul Ahkam, Edisi Indonesia Syarah Hadits Pilihan Bukhari Muslim, Pengarang Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam, Penerbit Darul Fallah]

Sumber : suaramuhammadiyah

Previous Post
Newer Post