
Cinta ibu itu tidak masuk akal. Salah satu kalimat yang tidak bisa dimengerti oleh semua orang, hanya beberapa persen total penduduk bumi yang menyadari akan fenomena satu ini. Tak ada yang tahu, bagaimana cara kerja perhatian dan kasih sayang seorang ibu pada anaknya.
Lihat induk kucing. Yang sering bersama anak-anak lucunya siapa? Ibu mereka. Lihat induk singa, yang mengajari berburu siapa? Ibu mereka. Dan lihat ke para ibu-ibu manusia. Mereka juga sebelas dua belas.
Tidak perlu sebuah alasan pasti, tindakan mereka penuh akan rasa peduli dan khawatir. Di awal, mungkin terlihat tidak masuk di akal, aneh, atau bahkan mengada-ada. Tapi setelahnya, entah semesta merestui atau bagaimana, kejadian yang ditakutkan si ibu akan langsung terjadi.
Saat kecil, anak melihat ibunya sebagai sosok pelindung, sosok malaikat tanpa sayap putihnya, tetapi tetap bisa membuat hati nyaman di sekitarnya.
Itu semua akan mulai tampak berbeda ketika anaknya beranjak menjadi seorang remaja. Fase labil, emosi absurd, dan gampang terhasut sana-sini. Membentuk kepribadiannya yang besoknya akan menjadi konsekuensi dari apa yang mereka serap.
Di sini, mereka memandang ibu sebagai seorang penganggu, penghalang, dan pengekang. Mau melakukan ini, tidak boleh, melakukan itu, tidak boleh. Jadi, apa yang boleh dilakukan? Si anak kesal, dan berujung melepas rantai yang tidak seharusnya dilepas.
Dan bodohnya, aku adalah salah satu anak yang melakukan hal itu. Sungguh aku tidak mengerti, mengapa aku tidak bisa melihat niat baik ibuku. Sampai kapanpun, ternyata di matanya, aku tetap seperti balita yang tidak tau apa-apa.
Namaku Asa, ibuku adalah seorang yang sangat perhatian.
***
“Heh, mau ke mana kamu tengah malam begini?” Ibu menghampiriku, bertanya dengan nada penasaran dan khawatir. Sudah jam sembilan malam—belum tengah malam sebenarnya. Aku tadi sedang memakai sepatu, hendak pergi keluar.
“Dengan teman, ibu. Santai saja.” Ucapku tak acuh. Aku sudah janji dengan temanku untuk pergi ke salah satu plaza yang baru buka di kota. Teman-teman di sekolah banyak yang membicarakannya.
Aku kembali mengecek semua yang ku bawa. Dompet, handphone, dan kunci motor. Semuanya sudah ku bawa. Uang saku pun sudah aman di dalam dompet. Temanku bilang, ia akan sampai dalam dua puluh menit. Jarak antara rumahku dan plaza lebih dekat lagi. Cuma, karena jalannya tersambung dengan jalan raya, aku terpaksa memakai motor.
Ibu berlari kecil ke dapur, kemudian berlari lagi ke arahku yang sudah siap berangkat. Ia menyodorkan satu bungkus roti. Ku pandang roti itu sejenak, kemudian berpaling, tidak tertarik mengambilnya.
Dengan agak memaksa, ibu memutar tubuhku, dan menyerahkan roti itu padaku. “Bu, aku nggak butuh. Nanti kan bisa beli di sana?”
“Bawa saja, siapa tau uangmu kurang dan kamu lapar. Atau untuk mengganjal perut selagi jalan-jalan. Sekalian hemat duitmu juga,” terang ibu sambil menatapku.
“Tapi, harus ku bawa di mana ini?” tanyaku padanya, masih enggan menerima rotinya.
“Di saku celanamu, muat kok. Sudah, ambil.”
Mau tidak mau aku mengalah. Ku ambil roti itu. Dengan langkah cepat, aku sudah naik ke atas jok motor. Dengan perlahan mencari posisi enak untuk memutar arah.
Ibu kembali keluar, melihatku yang sudah akan berbelok dengan tanpa helm. Ia berseru dari bingkai pintu. “Helmmu mana, heh?! Bahaya loh!”
“Nggak akan kenapa-kenapa, Bu!” balasku.
“Yakin kamu?” Bukan ibu, suaranya lebih berat. Itu ayahku. Dia barusan bangun dari tidur nyenyaknya—tentu saja nyenyak. Dia tidur di samping ibu. Itu kebiasaannya.
“Ini jam sembilan. Pakai helmmu. Atau nanti kamu akan kena tilang polisi.” Aduh, ayahku jadi ikut-ikutan menceramahiku. Jika sudah begini, repot urusannya. Dua lawan satu. Aku kalah suara.
Baiklah, ku ambil helm full face, memasangnya di kepala. Mesin motor menyala, suaranya cukup keras, aku melambaikan tangan pada ibu dan ayah sebelum tancap gas ke tujuan.
Jalanan nampak ramai. Lampu-lampu kendaraan, bangunan, dan lampu lalu lintas menghiasi seluruh sudut jalan. Angin malam menerpa. Untung aku pakai jaket, jadi udara dingin malam yang menusuk tidak dapat menyentuhku.
Tiga belas menit, aku tiba di tujuan. Ku bayar uang parkir, memarkirkan motorku di antara banyaknya motor-motor lain. Ku taruh helmku di atas salah satu kaca spion. Aku mengambil handphone, memberikan kabar dan menanyai di mana dia.
Meski malam, tempat parkir itu masihlah ramai. Jika dihitung, mungkin ada puluhan motor yang terparkir membisu di sini. Ada beberapa orang yang duduk di atas jok motornya. Mungkin juga sedang menunggu kenalan.
“Di mana kau, heh? Belum sampai?” Aku memutuskan untuk menelponnya. Dia tidak menjawab chat-ku sama sekali. Boro-boro dibalas. Dibaca saja tidak.
“Masih nungguin lampu merah. Kamu udah sampai, ya? Tunggu sebentar. Lima menit lagi aku dateng, kok. Jangan ditinggal.” Aku mengiyakan, mematikan telpon dan duduk di atas jok motor. Ia masih agak lama, aku bisa bersantai sejenak.
Baru juga ingin membuka aplikasi lain, mendadak ibuku menyusul menelponku. Aku buru-buru mengangkatnya. “Ya Bu, kenapa?”
“Oh, sudah sampai? Ibu cuma mau bilang, hati-hati di sana. Ingat, di situ ramai. Jangan lengah sama barang bawaanmu. Nggak lucu kalau kamu jalan-jalan bareng temen, eh, kecopetan.”
“Iya Bu, iya. Nggak akan, kok. Tenang saja. Aku bisa jaga barang-barangku.” Aku membuka bungkus roti yang ibuku berikan padaku saat masih di rumah. “Oh ya, ayah di mana?”
“Ayahmu tidur lagi setelah yakin kamu menghilang dari pandangan. Maklum, dia ngantuk sekali.”
“Hmm, ya. Sudah ya, Bu. Aku matikan.”
“Eh, tunggu. Sebelum kamu tutup, ibu pesan satu hal lagi padamu.” Tanganku tertahan, baiklah, aku dengarkan. “Ibu sayang padamu.”
Aku menatap layar yang menunjukkan nomor ibuku. Eh, kenapa tiba-tiba?
“Ah, sudah. Temanmu pasti habis ini datang tuh. Senang-senang, yaaa.” Ibu mematikan telpon, bahkan sebelum aku sempat menjawab ucapannya. Aduh. Entahlah. Ku pikirkan nanti-nanti saja. Benar kata ibu, aku harusnya bersenang-senang dengan temanku malam ini.
Lima menit setelahnya, temanku akhirnya datang. Setelah memarkirkan motornya, kami pun melangkah beriringan menuju ke area Plaza. Dia teman sekelasku. Kami sudah saling kenal cukup lama.
Masuk ke dalam Plaza, kami terpukau sejenak. Temanku dengan rakus menghirup udara Plaza yang dia bilang “enak,” itu. Aku sebenarnya tidak masalah dia mau menciumi satu Plaza ini. Tapi ayolah, kenapa gesturnya lebay sekali?
Dia baru berhenti setelah aku menyikutnya. Ia tertawa garing, kami melanjutkan pergi ke tempat tujuan. Ini malam hari, dan tempat ini baru dibuka beberapa bulan lalu. Kami berdua berniat berkeliling mencari tau semua stand dan tempat di dalam Plaza yang luasnya bak samudra ini.
***
Di rumah Asa. Ibu meletakkan handphone miliknya di atas meja dengan alas kaca. Ia sebenarnya khawatir sekali dengan anaknya di sana. Meski tadi dia sendiri yang menyuruh Asa untuk bersenang-senang dengan temannya. Tapi tidak bisa bohong, dia tetap was-was.
Ia menghembus napas berat. Semoga, skenario di kepalanya tidak terjadi. Jangan salah. Ketika khawatir, ibu itu bisa membuat 1001 skenario yang aneh-aneh. Tapi sebenarnya, itu tidak sepenuhnya aneh. Itu alami. Kekhawatiran karena rasa sayang pada anaknya, pada suaminya, pada keluarganya.
Terlalu lama khawatir, perut ibu Asa berbunyi. Minta-minta makan. Akhirnya, ibu Asa pergi ke dapur, merengsek isi kulkas. Mencari makanan. Dia yakin sekali, tadi dia menyimpan makanan dan cemilan di dalam.
“Ayah! Ke mana cemilanku? Tadi aku udah beli, loh.” Ibu berseru dari balik dapur.
Kenapa dia memanggil ayah, padahal tadi ia bilang si ayah sedang tertidur? Itu karena, sebenarnya si ayah tidak benar-benar tidur. Ia hanya “tiduran,” di samping ibu. Biasa, dia modus. Manja sekali dengan istri cantik tercintanya.
“Oh, tadi aku minta sedikit. Lupa bilang,” jawab si ayah dengan entengnya. Ia memasang wajah tanpa dosa. Dari mana konsepnya, “meminta,” tapi tidak “minta,” ke si pemilik, heh?
“Astaga, ayah. Nggak dihabisin semua, kan?” Si ayah mengangguk. Ia menunjuk ke atas meja dapur. Oh, di situ. Ada bungkus cemilan yang sudah terbuka.
Ibu melihat ke dalam bungkusnya. Masih ada beberapa. Yasudahlah, yang penting makan. Dia lapar. Ibu pun duduk di sebelah ayah, suaminya. Dia mengunyah sambil menatap layar TV yang hitam karena memang tidak dinyalakan sejak awal.
Hanya ada suara kunyah si ibu, desingan kipas, dan suara kendaraan dari arah luar. Ini malam yang tenang. Walau hati ibu Asa tidak setenang malam saat ini. Dia masih khawatir. Terlihat jelas dari wajahnya yang mulai agak tegang, matanya juga berkata demikian.
Ia berusaha mengalihkan pikirannya dengan makan cemilan. Dia tidak ingin mengganggu kesenangan anaknya hanya karena rasa khawatir yang tidak pasti. Nanti dia malah tidak disukai anaknya, bagaimana coba?
Si ayah yang tadi asyik meringkuk akhirnya menyadari aura milik istrinya. Dia berganti posisi menjadi duduk, menatap ke arah istrinya. “Kamu kenapa? Masih khawatir sama Asa?”
Istrinya mengangguk. Tentu saja khawatir. Dia selalu khawatir. Bahkan saat Asa di dekatnya, ia tidak bisa untuk tidak khawatir. Dia tidak mau, anak satu-satunya itu terluka, atau melukai. Dulu, ketika Asa masih menginjak usia dua tahun, ia suka sekali mengemut barang-barang di sekitar. Mainan, ujung barang, dan jari.
Saat masuk Sekolah Dasar. Asa masih terlihat sangat lucu, polos, dan tentu saja sangat aktif. Suka bermain sana-sini dengan teman-temannya. Bahkan ketika dijemput, Asa akan bercerita apa saja kegiatannya di sekolah, dengan temannya, dengan guru, dan pelajaran apa yang ia pelajari.
Ketika masuk ke Sekolah Menengah Pertama, Asa mulai memperhatikan kesannya pada orang sekitar. Dia masih hiperaktif, tapi sudah tidak begitu kekanak-kanakan. Dia melakukan gerakan seperlunya, bicara dengan hati-hati, dan mulai sering bermain dengan temannya di tempat yang jauh.
Jauh dari jangkauan ibunya. Membuat si ibu mulai khawatir. Apakah anaknya bisa pulang? Apakah anaknya akan baik-baik saja? Nanti anaknya makan apa jika tidak ada dirinya? Sesaat, ibu Asa lupa bahwa anak itu memang suatu saat harus dilepas. Masuk ke dunia orang dewasa yang memang tidak boleh lagi bergantung pada orang lain.
“Sudah, tidak usah khawatir. Asa itu pintar, waspada, dan teliti dengan sekitar. Aku yakin dia akan pulang dengan keadaan baik.” Ayah Asa berusaha menenangkan istrinya. Dia melingkarkan tangannya pada pinggang si istri. Mengelus punggungnya.
“Aku tau. Cuma, rasa takutku ini seolah melekat padaku. Entah kapan aku bisa melepasnya tanpa beban perasaan ini lagi.” Gantian, sekarang ibunya Asa yang berbaring di sebelah ayahnya. “Baiklah, mungkin aku saja yang terlalu banyak berpikir. Aku lelah. Mau tidur. Kamu juga harus cepat tidur.”
“Iya, iya. Aku tidur. Selamat malam—”
Drrrtttt… Drrrtttt…. Drrrtttt… Drrrtttt… Tutt.
Ayah Asa mengangkat telpon. Itu anaknya. Dia menggeser layar, suara Asa terdengar dari balik telpon. “Ya, Asa… Ini ayah….”
Akhirnya, ibu Asa tidak jadi tidur. Mendadak, hatinya berdegup kencang. Matanya bergetar, kepalanya yang tadi sudah mulai tenang, terasa berputar-putar. Kenapa anaknya menelpon? Seharusnya dia sedang bersama temannya di Plaza, kan? Ada apa?
“Kamu di mana?… Yasudah, kamu tunggu di sana, ayah ke sana sekarang.” Wajah ayah mendadak jadi agak tegang. Eh? Ada apa?
“Kenapa, ayah?” tanya ibu penasaran, dia benar-benar tidak tahan untuk tidak bertanya.
“Asa dibegal, motornya dan temannya dipreteli dan dirusak. Kamu telpon orangtua temannya Asa, kamu punya nomornya, kan?” Ibu Asa mengangguk. “Oke, aku pergi dul—”
“Aku ikut.” Ayah Asa tertahan sejenak. Ia menatap ke arah istrinya. Matanya sungguh-sungguh. Baiklah. Dia mengangguk, mereka berdua pun pergi menuju Plaza.
Di jalan, ayah fokus menyetir. Dengan kemampuan puluhan tahunnya, dia bisa menyalip, dan berkelok laksana ular. Dengan anggun berbelok di antara kendaraan-kendaraan lain. Ibu Asa di sisi lain bahkan tidak bisa fokus pada jalanan. Yang ada di kepala, hati, dan matanya, hanya bayangan anaknya.
Sampai di parkiran Plaza, ibu dan ayah langsung bergegas menuju tempat anak mereka. Kebetulan, tempat motor Asa ada di dekat gerbang masuk, tidak susah mencarinya.
Benar saja, terlihat, Asa yang sedang duduk di lantai parkiran, temannya berada di samping, terlihat sedang menelpon seseorang. Menelpon polisi.
“Asa! Asa!!” Ibu berlari mendahului sang ayah. Berbeda dengan si ibu. Ayah tetap bisa melihat keadaan lain. Ya, dia tentu khawatir dengan keadaan anaknya saat ini. Tapi dia juga memperkirakan dampaknya bagi Asa di esok hari.
Motornya benar-benar rusak. Banyak bagian mesin yang rusak, terlihat kaca spion yang tadi dibuat untuk meletakkan helm juga ikut copot. Bahkan, helmnya pun dicuri, entah dibawa ke mana. Dan yang paling parah. Motornya mengeluarkan asap.
Ibu Asa langsung memeriksa keadaan anaknya. Dari atas, bawa, samping, semuanya ia lihat dengan mata dan gestur cepat, panik. “Aku nggak papa, Bu. Cuma. Motornya—”
“Ibu nggak peduli dengan motormu. Kamu, aduh, Asa! Kamu beneran nggak papa? Ada yang luka? Kamu tidak diapa-apakan sama begalnya, kan?” Rentetan pertanyaan ibu hanya bisa diiyakan lemas oleh Asa. Dia merasa bersalah. Dia tidak sadar, bahwa sebenarnya, orang yang tadi sedang menelpon di jok motor itu memperhatikannya.
“Aman, Tante. Asa cuma didorong. Kami terlambat sampai kemari. Begalnya keburu merusak dan mengambil apa saja bagian dari motor saya sama Asa. Tapi selebihnya, kami nggak kenapa-kenapa, kok.” Teman Asa menjelaskan setelah selesai menelpon.
“Syukurlah. Ibu takut sekali kamu kenapa-kenapa tadi.” Ibu Asa memeluk anaknya. Asa bisa merasakan, tangan dan bahu ibunya bergetar. Apa dia, benar-benar membuat ibunya setakut ini?
“Kalian lihat ke mana begalnya?” Gantian, ayah Asa bertanya.
“Lihat, om. Mereka pergi ke arah jalan raya. Kabur secepat mungkin. Saya sudah telpon polisi, kok.”
Ayah mengangguk mendengar penjelasan teman Asa. “Kamu pulang dengan ibumu. Dia sudah merasa tidak enak sejak awal kamu mau pergi. Ya, memang seharusnya kamu nggak usah pergi, sih. Kamu terlalu meragukan perasaan dan insting ibumu.”
Asa menunduk, menyesal. “Maaf.”
“Sudahlah. Ayah yang akan urus. Kamu pulang, dengan ibumu. Ini kuncinya.” Asa menerima kunci motor ayahnya. Ia dan ibunya pun naik ke motor, tancap gas, balik ke rumah dengan perasaan campur aduk.
Di rumah, Asa tidak bisa tidur karena masih merasa menyesal. Gara-gara dia, motor yang susah payah dibelikan orangtuanya malah jadi rusak parah. Karena dia kurang peka dengan sekitar.
Tok, tok, tok.
“Asa, ibu boleh masuk, nak?” Tidak ada jawaban. Ibu Asa memutar kenop pintu. Masuk ke dalam kamar. Asa sedang tiduran membelakangi pintu, menatap ke arah tembok yang kosong.
“Asa… Sudah ya? Kami tidak masalah dengan motornya. Itu hanya motor. Harganya tidak sebanding dengan kondisimu. Kita bisa membeli yang baru kapan-kapan.” Ibu Asa mengelus kepala anknya dari belakang. Menyalurkan energi nyaman. Asa pun berbalik, menatap ibunya.
“Maaf, ibu.” Ibu Asa menggeleng. Ia menyuruh Asa tidur. Ia pun ikut tidur di sebelah anaknya. Memeluknya. Malam itu, keduanya tertidur di satu kamar dengan perasaan yang mulai kembali normal.
Ayahnya kembali pagi buta, dia mengurus beberapa hal, pun soal motor Asa. Wah, dia yang lelah melihat anak dan istrinya tertidur di satu kamar pun cuma bisa geleng-geleng karena ditinggal.
Baiklah, dia pun ikut tidur, tidak di satu kamar bersama mereka, dia tidak mau mengganggu kemesraan ibu dan anak tercintanya. Sesekali dia mengalah, tidur sendirian.
[ T A M A T ]