
Tagar.co – Ramadan datang, alhamdulillah! Berpuasa di bulan Ramadan, nikmat, masyaallah! Oleh karena itu, sambut bulan suci Ramadan dengan penuh sukacita. Mengapa?
Ayat di atas menunjukkan cara Allah dalam menyampaikan syariat puasa yang menggugah sekaligus indah. Dalam ayat tersebut terdapat tiga poin penting yang menarik untuk dikaji. Pertama, pendekatan iman. Kedua, perspektif sejarah. Ketiga, pemberian motivasi.
Di awal, Allah mengondisikan jiwa manusia dengan panggilan spesial: Hai orang-orang yang beriman. Di tengah, Allah memberikan kewajiban puasa. Dalam firman-Nya, Allah menghubungkan kewajiban itu dengan ajakan kepada kaum beriman untuk mengingat bahwa umat terdahulu juga telah mendapat kewajiban yang sama. Di akhir, Allah memberikan motivasi berupa janji bahwa orang yang berpuasa akan menjadi insan takwa, yaitu manusia paling mulia di hadapan Allah.
Hal Spesial
Mari kita kaji yang pertama, pendekatan iman. Di pembukaan Al-Baqarah 183, Allah menyeru orang-orang yang memiliki kualitas keimanan. Jelas, ini adalah panggilan kasih sayang. Maka, mereka yang diseru akan memberikan respons positif sebagai konsekuensi dari keimanannya.
Perhatikan ayat ini: “Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan: ‘Kami mendengar dan kami patuh’. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (An-Nur 51).
Respons “Kami mendengar dan kami patuh” merupakan ekspresi kepatuhan tulus seorang hamba. Selanjutnya, jiwa kepatuhan itu akan membimbing si hamba untuk merasa ringan bahkan senang dalam melaksanakan kewajiban.
Terkait dengan hal ini, mari kita cermati ungkapan salah satu sahabat Nabi Muhammad Saw., yaitu Abdullah bin Mas’ud ra. Sahabat yang ahli dalam tafsir ini mengatakan bahwa jika suatu ayat dimulai dengan panggilan kepada orang-orang yang beriman, sebelum sampai ke akhirnya (yaitu bagian tentang kewajiban), maka kita sudah tahu bahwa ayat tersebut akan mengandung perintah penting atau larangan berat.
Hal ini karena Tuhan Yang Maha Tahu telah memperhitungkan sebelumnya bahwa yang bersedia tunduk untuk melaksanakan perintah-Nya hanyalah orang-orang yang beriman. Lihatlah, puasa adalah salah satu kewajiban yang dalam pelaksanaannya meminta kaum beriman untuk mengorbankan kesenangan diri dan kebiasaan sehari-hari (Hamka, Tafsir Al-Azhar, 2007: 417).
Pelajaran Besar
Kaum beriman memiliki sikap yang kuat. Mereka tidak akan mudah berubah. Mereka akan tetap bersama Allah dan Rasul-Nya. Perhatikan ayat ini: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (Al-Ahzab 36).
Kaum beriman akan teguh mempertahankan keyakinannya. Apa pun risikonya, mereka akan menghadapinya. Apa pun akibatnya, ringan atau berat, mereka akan menerimanya dengan sepenuh kesadaran.
Sungguh, landasan iman dalam merespons sesuatu akan memberikan kekuatan bagi jiwa. Lihatlah kisah para tukang sihir Fir’aun setelah kalah dari Nabi Musa as. Ada pelajaran penting di sana.
Setelah para tukang sihir itu kalah dalam adu ilmu dengan Nabi Musa As., mereka pun beriman. Melihat hal itu, Fir’aun mengancam mereka dengan hukuman sangat berat, yaitu pemotongan tangan dan kaki secara bersilang. Perhatikan ayat ini:
“Berkata Fir’aun: ‘Apakah kamu telah beriman kepadanya (Musa) sebelum aku memberi izin kepadamu sekalian? Sesungguhnya ia adalah pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu sekalian. Maka sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kaki kamu sekalian secara bersilang dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada pangkal pohon kurma, dan sesungguhnya kamu akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih pedih dan lebih kekal siksanya’” (Taha 71).
Ancaman Fir’aun itu ditanggapi secara argumentatif oleh mereka yang telah beriman. Mereka siap menerima segala risiko sebagai konsekuensi keimanan. Perhatikan ayat ini: “Mereka berkata: ‘Kami sekali-kali tidak akan mengutamakan kamu daripada bukti-bukti yang nyata (mukjizat) yang telah datang kepada kami dan dari Tuhan yang telah menciptakan kami; maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya dapat memutuskan dalam kehidupan di dunia ini saja’” (Taha 72).
Cermati dengan saksama respons kaum beriman di atas. Itu adalah jawaban yang tegas, yang terbit dari iman yang mantap.
Simak juga lanjutan pernyataan iman yang kuat dari “mantan tim penyihir Fir’aun” dalam ayat ini: “Sesungguhnya kami telah beriman kepada Tuhan kami agar Dia mengampuni kesalahan-kesalahan kami dan sihir yang telah kamu paksakan kepada kami melakukannya. Dan Allah lebih baik (pahala-Nya) dan lebih kekal (azab-Nya)” (Taha 73).
Kembali, Kembali!
Selanjutnya, mari kita kaji pendekatan sejarah dalam Al-Baqarah 183. Perhatikan bagian ayat ini: “Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu”. Artinya, dahulu, puasa juga telah diwajibkan. Misalnya, Nabi Musa as. berpuasa selama 40 hari.
Kemudian, pada bagian akhir Al-Baqarah 183, terdapat pendekatan motivasi. Allah memberikan gambaran bahwa ada hasil akhir yang indah bagi orang yang berpuasa. Perhatikan bagian ayat ini: “Agar kamu bertakwa”. Hal ini dapat kita hubungkan dengan ayat berikut: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu” (Al-Hujurat 13). Juga, dapat dikaitkan dengan sabda Nabi Saw.: “Barang siapa yang berpuasa karena iman dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (H.R. Bukhari).
Demikianlah, puasa adalah ibadah yang kewajibannya disampaikan secara indah. Perintah puasa bagi kaum beriman dapat menggugah jiwa untuk melaksanakannya dengan rela dan penuh rasa senang.
Mari sambut bulan suci Ramadan dengan sepenuh rasa gembira. Mari tunaikan puasa Ramadan dengan sepenuh keikhlasan sebagai kaum beriman. Semoga, ketika Idulfitri tiba, kita akan menjadi manusia yang kembali kepada fitrahnya. Amin, ya Allah. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni
Sumber : https://tagar.co/puasa-jalan-indah-menuju-takwa/