Penulis : R. Moh. Abiy Febriyan Laksonowedi kelas 9

Namaku Sunya. Banyak orang bilang aku ini anak aneh. Dari kecil, aku suka sekali menganggap benda mati di sekitarku sebagai makhluk hidup. Mau yang seperti manusia (boneka) atau tidak (kerikil, ranting, dsb). Teman-teman menertawai diriku, bilang aku ini gila, tukang halu, dan sebagainya.

Benda pertama yang ku anggap “memiliki jiwa,” adalah mainanku. Mobil-mobilan berwarna merah. Aku sayang dan suka sekali menghabiskan waktu dengan mainan itu. Tidak ada hari di mana aku tidak bermain bersamanya ketika masih masa kanak- kanak.

Hingga suatu hari, ayahku membelikanku mainan mobil lain, warnanya berbeda, biru. Lebih canggih. Lebih futuristik. Dan tentu saja sebenarnya jauuuh lebih mahal dibanding mainan mobil merahku yang sudah lama.

Bahkan, yang biru itu dimainkan menggunakan remote. Tidak seperti yang merah, manual dengan tangan.

Awalnya aku senang. Tertawa melihat mainan baru yang lebih keren dan canggih. “Asyikk! Bisa pakai remote? Aku mau main bareng teman, mereka juga punya!” Ayah dan ibu manggut-manggut, aku pun pergi keluar, bermain sepanjang hari dengan teman dan mobil remote baruku.

Kemudian saat aku pulang, masuk ke kamar. Mobil merah tuaku tergeletak membisu di atas ranjang. Perasaan aneh muncul ketika aku menatapnya sambil memegang mobil remote-ku. Perasaan… Bersalah… Seolah aku barusan “selingkuh,” dengan mainanku.

“Eh, maaf, merah. Aku nggak bermaksud main dengan si biru terus. Maaf ya, jangan marahhh,” ucapku takut membuat merah, alias mobil mainan pertamaku cemburu.

Orangtuaku awalnya terkekeh melihat tingkah absurd-ku. Mereka pikir itu adalah tanda imajinasiku tinggi. Sampai meminta maaf ke mainan. Mereka juga menganggap, berarti aku ini besok-besok akan jadi seorang lelaki yang sangat peka dan peduli. Iya lah, mainan saja takut ku selingkuhi, apalagi manusia asli?

Hari demi hari, minggu demi minggu, hingga akhirnya, setahun setelah kejadian itu, aku mulai masuk ke Taman Kanak-kanak. Aku mulai dapat banyak teman baru, kenalan, dan menjalin hubungan sahabat untuk pertama kalinya.

Semuanya asyik. Kami bermain apa saja di sana. Perosotan, ayunan, jungkat-jungkit. Atau permainan seperti petak umpet dan kejar-kejaran. Seperti anak pada umumnya di zamanku. Kalau sekarang, kebanyakan hanya main handphone, tidak tertarik pergi bermain dengan sesamanya secara langsung.

Kemudian, sempat suatu hari teman perempuanku, namanya Caca, membawa boneka kesayangannya. Dia beri nama boneka itu sebagai Bonnie. Dengan senang, ia menunjukkannya padaku dan lainnya, bilang bahwa ia sayang menyayangi Bonnie.

Setelahnya, teman laki-lakiku iseng. Tau sendiri, anak laki-laki itu jahilnya bukan main, suka sekali bertingkah sana-sini. Pun temanku saat itu. Diambilnya Bonnie secara tiba-tiba saat teman perempuanku berpaling, kemudian ia lempar ke dinding. Tertawa.

Teman perempuanku menjerit, dia bersungut-sungut pada teman laki-lakiku, bilang bahwa itu mainan yang dibelikan ibunya dengan penuh perjuangan. Teman laki- lakiku menjulurkan lidah, meledeknya sampai menangis.

Tapi, ledekan itu berhenti ketika fokusnya tertuju padaku yang sedang berjongkok, menggendong Bonnie. Dia bertanya, “Ngapain kamu?” Aku berbalik, menatapnya tidak suka.

“Kasihan Bonnie. Lihat, kepala sama punggungnya sakit. Kenapa kamu lempar dia? Nanti Bonnie luka, bagaimana?” Kemudian, semua yang melihat (terutama yang laki- laki) tertawa, mereka bilang aku aneh, wajar, karena boneka sejatinya tidak punya saraf untuk merasakan hal yang namanya sakit.

Tidak memedulikan ledekan mereka, aku terus mengelus kepala Bonnie, menepuk- nepuk punggungnya sambil berbisik, “Tidak apa, nanti sembuh, tenang, yaa.”

Teman perempuanku datang, ia kemudian berterimakasih padaku, bilang akan menjaga Bonnie lebih baik. Aku mengangguk. Setelahnya, hari-hari berjalan seperti biasanya.

Itu adalah kejadian kedua, di mana aku merasa iba, kasihan, dan menganggap benda mati itu memiliki perasaan atau jiwa. Masih untung itu boneka, memang mirip manusia. Ketika menginjak Sekolah Dasar, aku makin parah.

Saat ingin pulang, menunggu jemputan, aku melihat ada satu kerikil di sebelah kakiku. Kecil, ukurannya bahkan tidak sampai tiga sentimeter. Kemudian aku menoleh, ada “segerombolan kerikil,” lainnya, agak jauh dari kerikil di sebelah kakiku.

“Eh, kenapa kamu sendirian? Kamu dijauhi teman-temanmu?” Aku pun menaruh kerikil itu di antara gerombolan kerikil yang lain. Niatnya sih, agar kerikil itu “bisa bicara,” pada teman sekawannya (sesama kerikil).

“Hehe, yang akrab, ya.” Aku pun terkikik senang, bisa membantu kerikil itu berkumpul dengan kawan-kawannya lagi. Hingga kemudian ayahku menjemputku, dia sempat melihatku tertawa sambil melihat ke arah para kerikil. Tapi dia abai, tidak terlalu menanggapi.

Semakin lama, benda mati yang ku anggap hidup kian bertambah. Orang-orang yang meledek dan menghinaku aneh juga ikut-ikutan bertambah. Tidak hanya teman sekelas. Satu angkatan, bahkan adik dan kakak kelas ikut mendapat gosip itu.

Hingga paling parah, aku sempat menangis di kelas karena melihat buku yang dirusak, dicemplung ke air, kemudian dirobek. Entah kenapa, hatiku ikut robek bersama lembaran halaman buku itu. Dengan tanpa sadar, aku merebut bukunya. Meski koyak, aku mengelus-elus setiap sudut buku dan berbisik “Sshh… Jangan nangis, ya. Nggak papa. Jangan nangis.”

 

Di situlah, teman-teman mulai menganggap anehku dengan lebih serius. Kelas enam, orangtuaku mendapat panggilan ke sekolah. Guru-guru khawatir dengan kondisiku, mereka menyarankanku untuk dicek ke dokter spesialis mental (psikolog).

Orangtuaku setuju, tapi tidak berniat mengecekku di saat itu juga. Mereka ragu. Masih ingin “make sure,” bahwa diriku memiliki semacam kelainan mental terhadap benda mati.

Semua orang menganggapku aneh. Akhirnya, aku mulai dijauhi, mulai dikucilkan. Orangtua yang tau kondisiku memberikan peringatan pada anak mereka, berkata jangan terlalu dekat denganku, nanti gilanya menular.

Masuk ke kelas tujuh, satu SMP. Kali ini, aku berusaha mengurangi pandangan anehku soal benda mati. Meski tidak terima, kadang barang diperlakukan kasar, aku tetap bergeming, berusaha tidak lagi terlihat aneh.

Sampai muncul lah, gadis perempuan yang entah bagaimana tau kondisiku. Dengan hangat menghampiriku, menepuk pundakku lembut. “Kamu nggak aneh, kok. Aku suka, lihat laki-laki yang perhatian sepertimu, bahkan ke benda yang nggak perlu diperlakukan selayaknya manusia.”

Di situ, aku menatapnya seolah tidak percaya. Siapa perempuan ini? Kenapa dia tidak masalah dengan keanehanku? Terlebih lagi, bagaimana dia tau soal diriku?

Bertahun-tahun, semua orang menganggapku aneh. Dari seribu manusia yang pernah ku jumpai, hanya satu yang tidak, yakni perempuan yang entah datang dari mananya. Namanya Maya, dia jadi temanku satu-satunya yang benar-benar menerima sisi “anehku,” tanpa merasa risih.

Ketika kuliah, lagi-lagi aku tetap dipandang aneh. Dosen tidak ikut secara gamblang dalam menindasku. Tapi dia selalu sinis padaku.

Aku bercerita pada Maya apa yang terjadi. Dia bilang, semua akan baik-baik saja, dan dia tidak akan pernah pergi meninggalkanku hanya karena diriku yang suka memberikan jiwa pada benda mati.

Di suatu sore, aku sedang mengobrol dengan salah satu gulingku. Iya, aku sering curhat dengan guling atau bantal. Mereka diam, tapi itu lebih dari cukup bagiku. Toh, buatku, mereka hidup, kok.

Sampai Maya menelpon. Aku mengangkatnya, dia bercerita bahwa dia akan pergi ke luar negeri, melanjutkan pelajaran ke negeri asing. Aku syok, aku berusaha memastikan (juga menghentikan) dia agar tetap di sini.

Ayah dan ibuku berlari ke kamarku karena mendengar suaraku yang bergetar dan panik. Mereka melihatku terengah-engah sambil menelpon seseorang.

“Kamu menelpon siapa, nak?” tanya ibuku khawatir. Dia masuk, duduk di sebelahku. “M-Maya, Bu. Dia mau pergi.”

“Maya?” Ayah berceletuk. “Siapa Maya? Kamu tidak pernah bilang kalau sudah punya gebetan?”

“Ayah! Ini serius,” sergah ibu, ayah menggaruk tengkuknya canggung. Salah lagi, deh.

“Siapa Maya, Nya? Kamu tidak pernah cerita soal dia, loh.”

“Dia temanku, Bu. Teman satu-satunya. Aku, aku nggak mau dia pergi ke luar negeri.”

Mendengar itu, ayahku memasang wajah curiga. Dia sama sekali tidak pernah melihat diriku dengan perempuan bernama Maya. Dari rasa curiga itu, ayah mengambil handphone-ku dengan tiba-tiba, melihat isinya.

Kemudian, ayahku melirik ke arahku dengan tatapan yang sama seperti orang lain. Aneh.

“Sunya… Nggak ada riwayat telpon dengan nomor kontak Maya di handphone-mu.”

Di situlah, aku baru menyadari sesuatu. Maya, yang ku kira adalah seorang teman satu-satunya. Juga halusinasiku. Dia hanyalah angin yang ku berikan jiwa dan suara. Dia tidak ada. Eksistensinya, keberadaannya, rasa pedulinya. Semua itu hanyalah khayalanku.

***

Ruangan putih berukuran 4 × 4 meter itu lengang. Seorang perempuan dengan kemeja putihnya mengetuk-ngetuk meja. Mendengar cerita dari salah satu pasiennya.

“Jadi. Setelah itu, apa yang terjadi?”

Sunya tertahan sejenak, ia bercerita sambil duduk di ujung kasur pasien. Kepalanya dibalut perban, pun pergelangan tangannya.

“Aku jadi gila. Aku menolak fakta bahwa Maya itu palsu, fiksi, khayalan. Aku khilaf, aku menyakiti diri sendiri.” Orang dengan kemeja putih (psikolog) itu mengangguk. Dia menyenderkan punggungnya ke senderan kursi.

“Sudah jelas,” ucap si psikolog, “kamu delusi animistic. Ya, semacam gangguan psikologis, mengira benda mati itu hidup, memberikan jiwa dan perasaan pada mereka. Dan—”

Psikolog berdiri, menatap Sunya yang mendongak. “Kamu skizofrenia, Sunya. Aku sebenarnya sudah curiga, sejak kita masih TK.”

Sunya menunduk. “Apa aku masih bisa sembuh… Caca?”

Caca, psikolog sekaligus teman masa kecil Sunya, yang dulu bonekanya dilempar ke dinding, memasang sumringah di wajah. “Kamu bisa, jika kamu mau.”

[ E N D ]