Cerpen Karya :
Raden Mohammad Abiy Febrian Laksonowedi
Kelas 8B

Namaku Raden.
Sekolah menengah pertama muhammadiyah tujuh belas. Itu adalah sekolah ku, tempat ku mencari ilmu, juga mencari teman.
SMPM17 terletak di sebuah gang yang sebenarnya cukup sempit. Sekolah ku di kelilingi oleh beberapa rumah warga, dan juga sekolah dasar muhammadiyah. Di sebelah sekolah dasar itu, ada sekolah menengah akhir sembilan muhammadiyah.
Sekolah yang terlihat sempit, dan hanya punya panjang, tak punya lebar. Tapi nyata nya tidak begitu, ingat! Don’t judge book by is cover.
Saat pertama melihat nya ketika di tunjukkan oleh mama, aku cukup skeptis. Soal? Tentu saja soal bagaimana aku berinteraksi dengan orang-orang di sekolah itu.
Sudahlah sempit, di dalam gang, mana waktu datang aku asal melewati kakak-kakak IPM lagi! Aduhh!
Okay, akan ku ringkas jadi tiga bagian.
Pertama, kelas tujuh.
Tak ayal, ini adalah masa-masa dimana aku baru pertama kali naik ke bangku SMP setelah sekian lama. Ku pikir anak-anak SMP itu akan sangar dan terlihat amat berwibawa.
Ternyata… Tidak selama nya begitu.
”Ayo main bola!”
”Ya tapi jangan dikelas juga, dong!”
”Biar apa? Biarin, wlek~!”
Kegaduhan pun terjadi. Aku cuma bisa menghela napas. Ini cukup sering terjadi di disekolah ku, bagaikan sebuah aktifitas normal.
Aku sendiri adalah seorang anak laki-laki berkacamata tebal dan bertubuh pendek.
Aku hobi menulis, itu membuatku menyukai mapel bahasa Indonesia dan juga IPS. Kedua mapel itu cenderung “mendengarkan,” atau “menulis,” ketimbang mengerjakan sesuatu di buku LKS.

Kedua, saat kelas tujuh aku menjadi ketua kelas. Benar, baru juga beberapa hari menjadi anak SMPM17 sudah diberi jabatan tinggi saja.
Aku menjabat hanya satu semester, dan sudah jelas performa ku sangat buruk. Bagaimana tidak? Aku tidak mempersiapkan diri, dan aku memang tidak ada niat untuk memimpin jadinya ya…
Kalian pasti taulah apa yang terjadi selama satu semester tersebut.

Ketiga, saat akhir semester kelas tujuh aku menjadi wakil ketua. Aku senang akhirnya tidak membawa beban berat di pundak ku. Hehe, punya jabatan tinggi itu merepotkan.
Di semester terakhir, tidak banyak hal yang terjadi. Bahkan terbilang tidak ada yang bisa ku ceritakan lebih lanjut. Yaampun. Se membosankan itulah diriku di kelas tujuh…

°°°°°

Jam istirahat.
Aku melangkah menuju kantin. Saat menuruni tangga, aku berpapasan dengan guru bahasa Indonesia ku, ustad Fanani namanya.
”Assalamualaikum, ustad.” Aku mengucapkan salam, tak lupa untuk salim.
”Waalaikumussalam. Lho, udah waktu nya istirahat?”
”Hehe, sudah ustad. Terus ustad sendiri mau kemana?”
”Mau ke UKS, mengoreksi ujian kalian. Hayo, kamu bener semua nggak?”
Aku tersenyum, itu adalah cara guru bahasa Indonesia ku bercanda.
”Insya Allah, ustad.”
”Yasudah, kamu mau jajan kan? Sana, keburu habis, ustad juga harus cepet-cepet.”
Aku pun berpisah dengan guru bahasa indo ku. Dia pergi ke atas, dan aku lanjut turun menuju kantin.
Sesampai nya di tujuan, aku melihat-lihat terlebih dahulu apa saja yang tersedia di sana. Mencari yang membuat ku tertarik. Sekalian yang paling murah juga sih.
Mataku bergantian menatap seluruh makanan yang terlihat dengan mata telanjang. Yaampun, ada nasi goreng dan sandwich isi telur. Mana mungkin aku melewatkan hal ini, iyakan?
Aku mencari-cari uang di saku celana. Tadi mama memberiku uang sangu berapa ya?
Ah! Ternyata sepuluh ribu. Itu berarti aku cuma bisa memilih antara nasi goreng dan sandwich (kedua nya itu lima ribu).

Bimbang, takut, aku berusaha menimbang-nimbang mana yang sebaiknya kubeli dan tidak kubeli. Bisa masalah kalau jam istirahat ini aku tidak kenyang tapi duit juga hangus semua.
”Eh, Raden? Kamu belum selesai milih makanannya?”
Dia temanku, kami dekat karena sama-sama suka bermain game.
”Eh, Hykel. Iya nih, aku belum bisa memilih. Dan kamu… Eh, beli itu lagi?”
”Hehe, enak sih.”
”Yah… Yaudah deh, aku beli nasi goreng aja.”
Keputusan sudah ku ambil, aku mengambil sekotak nasi goreng, membayar, kemudian kembali ke kelas untuk menyantap nasi goreng ku.
Istirahat pertama, selesai. Semua berjalan lancar dari jam pelajaran selanjutnya, hingga sampailah waktu nya jam pulang.
Aku mengenakan tas di pundak. Di atas dan di bawah meja sudah bersih, tidak ada satupun noda atau sampah yang berbekas. Baik, waktunya pulang!
Aku duduk di salah satu anak tangga. Bermain dengan hape, sekaligus menunggu orang tuaku menjemput ku. Mereka memang agak lemot, tapi bisa dimaklumi, jarak dari rumah atau tempat mereka bekerja memang tergolong jauh dari sekolah.

Bersantai, aku memutar lagu say yes to heaven, rasanya tenang sekali mendengarnya. Apalagi suasana sekolah sudah agak sepi.
Aku menoleh karena mendengar langkah kaki mendekat.
”Eh, ustad Azam. Assalamualaikum, ustad.”
”Waalaikumussalam. Lho, belum dijemput kamu, den?”
”Belum pak, masih lama.”
”Waduh, jangan pulang lama-lama, ya! Ustad mau pulang dulu.”
”Iya ustad, hati-hati dijalan.”
Omong-omong ustad Azam ini adalah guru IPS favorit ku. Dia punya style tersendiri lho. Dengan baju lengan panjang yang di gulung ke atas, lalu satu tangan di masukkan ke saku celana. Saat kelas tujuh, dia juga menjadi guru PPKN ku.
Aku kembali larut dalam lagu yang ku putar. Mendadak, aku mendapatkan suatu mood untuk membuat cerita.

Aku membuka WhatsApp. Benar, aku membuat cerita di WhatsApp. Sebenarnya ingin sih ku ketik di Wattpad, tapi aku terlalu malas. Itu nanti-nanti sajalah.
Mengetik… Mengetik… Mengetik… Dan terus mengetik, aku benar-benar tenggelam dalam setiap ketikan ku. Tanpa sadar, salah satu ustadzah menatap dari belakang.
”Hayo, ngetik apa kamu, Den?”
Aku tersentak kecil. ”Ustadzah! Astagfirullah, bikin kaget… Ini ust, cerita.”
Ustadzah tampak tertarik, ”Cerita? Wih, kamu bisa bikin cerita, Den?”
”Hehe..” aku menggaruk tengkuk yang tak gatal, ”Sekedar hobi, ust.”
”Lain kali kalau ada lomba cerpen, kamu mau ustadzah ikutkan, nggak?”
Jantungku berdetak kencang. Aku sangat amat mau! Tapi sisi gengsi ku tidak bisa langsung menerima nya.
”Duh, gausah ustadzah, saya masih amatir, nggak mungkin menang juga kok.”
”Lho, ya dicoba dulu baru ngomong. Lain kali ustadzah kasih tau. Yaudah, Ustadzah pulang dulu ya, hati-hati kalau pulang nanti.”
”Iya ust…”
Sekali lagi, lengang, tidak ada siapapun disekitar ku sekarang. Sepertinya kedua orang tuaku memang akan terlambat sekali kali ini.

Aku menatap sekitar. Sekolah ku yang tak terlalu lebar, tapi panjang. Kantin yang sudah akan tutup, mobil khusus milik guru, dan jangan lupa kolam ikan yang menambahkan kesan hidup di sekolah ku.
Jujur saja, sekolah ku itu agak kecil, aku dulu berpikir akan muak di sekolah SMPM17 yang terlihat sempit, karena aku hiperaktif dan suka keluyuran.
Tapi dugaan ku salah, aku nyaman berada di sekolah ini. Dengan teman-teman ku, dengan para guru, dengan staff, juga beberapa kucing yang kadang memasuki sekolah.
Lamunan ku pecah ketika mendengar suara mamaku yang memanggil. Aku bergegas mengangkat tas sekolah, memasukkan hape ke saku celana, kemudian pulang bersama…
Ku tau, tiga tahun, aku akan berada di sekolah sempit nan nyaman ini. Aku tau itu… Tiga tahun… Aku akan sangat menikmati nya… Karena kenangan singkat ku selama ini, itu sudah terasa seperti enam tahun lama nya…

[ The end ]
(SMPM-17-Surabaya)
Writer : Raden Mohammad Abiy Febrian Laksonowedi