
Tagar.co – Setelah Idulfitri, orang Jawa masih punya hari raya lagi yaitu riyaya kupat atau kupatan. Dirayakan tujuh hari setelah Idulfitri.
Ada makanan khas di hari raya ini. Orang membuat kupat dan lepet. Kupat adalah ketupat. Cangkang janur berbentuk segiempat diisi beras lalu direbus selama empat jam.
Lama pembuatannya sama seperti lontong. Cuma lontong terbungkus dari daun pisang berbentuk bulat lonjong. Keunggulan ketupat, lepet, atau lontong direbus lama supaya tidak cepat basi. Bisa tahan selama dua hari.
Sekarang sudah ada teknik memasak ketupat atau lontong lebih singkat dua jam. Bahkan ada yang cuma 30 menit memakai panci presto. Tapi sudah basi kalau lewat sehari.
Kalau lepet dibuat dari ketan dicampur parutan kelapa muda dan kacang beras. Lalu dibungkus janur dan diikat jerami. Karena sekarang susah cari jerami diganti tali rafia. Direbus bersamaan dengan ketupat.
Di masyarakat Jawa kalau ingin menikmati ketupat dan lepet ya menunggu riyaya kupat. Hari keenam Syawal sudah banyak penjual janur dan cangkang ketupat di pasar. Ini tradisi masyarakat Jawa yang masih ada sampai sekarang.
Beda dengan masyarakat Betawi, Sunda, Minangkabau, Makasar, yang bisa menikmati ketupat pada saat Idulfitri. Mungkin karena pengaruh ini, di beberapa rumah orang Jawa sudah menyajikan ketupat juga waktu Idulfitri.
Ketupat biasanya dimakan bersama dengan sayur lodeh manisa campur krecek dan udang. Ini masakan yang murah meriah. Ada juga yang memadukan dengan opor ayam dan telur. Lebih nikmat lagi dengan sambal bubuk kedelai.
Kalau di Minang, katupek, bahasa Minang untuk ketupat, biasa dinikmati bersama rendang, gulai ikan, telur, dan gulai nangka.
Tradisi Kupatan
Karena namanya riyaya kupat, maka masyarakat Jawa menjadikan hari itu istimewa dan perlu dirayakan. Paling sederhana dirayakan dengan mengirimkan ketupat, lepet, dan sayur lodeh ke tetangga dan sanak saudara di kampung.
Perayaan agak meriah membawa ketupat, lepet, dan sayuran ke masjid dimakan bersama-sama warga sedesa setelah didoakan oleh kiai. Ada juga yang menggelar makan bersama di balai desa atau perempatan jalan.
Paling meriah tradisi riyaya kupat dirayakan dengan pesta dan arakan warga sedesa. Seperti kupatan di Kecamatan Durenan Trenggalek. Berpusat di Pondok Pesantren Babul Ulum.
Acara ini awalnya open house KH Abdul Masir, pendiri Ponpes Babul Ulum, sekitar tahun 1800-an saat Idulfitri dan hari ketujuh Syawal. Wali santri dan warga sekitar pondok berdatangan silaturahim kepada kiai. Para tamu mendapat hidangan ketupat sayur lodeh.
Lama kelamaan tamu yang datang ke rumah kiai semakin banyak. Tradisi ini kemudian diteruskan anak cucu Kiai Masir hingga sekarang.
Pemkab Trenggalek lantas mengemas acara ini menjadi perayaan meriah. Ada arak-arakan baju tradisional, gunungan ketupat, gunungan sayur. Kemudian gunungan ketupat dan sayur diperebutkan oleh penonton.
Di pesisir pantai utara Jawa, riyaya kupat juga sangat meriah. Nelayan di pesisir Jepara, Pati, Kudus merayakan lomban kupatan yang meriah. Ada perang kupat di laut. Namun sayang, ada praktik mistik membuang kepala kerbau ke laut untuk minta perlindungan dan keselamatan.
Di pesisir Paciran Lamongan juga ada perayaan riyaya kupat. Lokasinya di Tanjung Kodok. Ada tradisi arak-arakan makanan, ketupat, dan lepet di hari ketujuh setelah Idulfitri.
Konon katanya tradisi ini berasal dari Sunan Drajat. Semua rakyat kaya miskin, tua muda berkumpul, bersilaturahim dan berbagi makanan pada hari itu.
Menurut cerita tutur warga setempat, suatu hari Sunan Drajat menuju masjid untuk salat berjamaah. Di perjalanan mendengar seseorang mengeluh kelaparan di rumahnya.
Usai dari masjid Sunan Drajat mengambil bungkusan nasi dan lauk diletakkan di depan pintu rumah orang tadi. Esok hari rumah itu dikirim makanan lagi. Lama-lama bukan hanya satu rumah. Rumah-rumah orang miskin dikirimi makanan.
Kebiasaan ini ditiru warga lainnya untuk membagi makanan kepada orang miskin hingga menjadi tradisi arak-arakan ketupat sekarang ini.
Tafsir Filosofis
Setelah merayakan Idulfitri ada puasa enam hari Syawal yang dianjurkan oleh Rasulullah Saw. Seperti bunyi hadis riwayat Ibnu Majah ini.
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ الْحَارِثِ الذَّمَارِيُّ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا أَسْمَاءَ الرَّحَبِيَّ عَنْ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ { مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا }
Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Ammar berkata, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah berkata, telah menceritakan kepada kami Shadaqah bin Khalid berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya Ibnul Harits Adz Dzimari berkata; aku mendengar Abu Asma Ar Rahabi dari Tsauban pelayan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa berpuasa enam hari setelah hari raya Idulfitri, maka seakan ia berpuasa setahun secara sempurna. Dan barangsiapa berbuat satu kebaikan maka ia akan mendapat sepuluh pahala yang semisal.”
Orang Jawa merayakan berakhirnya puasa Syawal dengan membagikan makanan ketupat dan lepet. Ini disebut riyaya kupat.
Dari sinilah kemudian muncul beragam tafsir riyaya kupat. Semua penafsir menyebut tradisi ini berasal dari wali sanga. Tapi beda daerah, beda sosok walinya.
Orang Jawa Tengah menyebut tradisi ini berasal dari Sunan Kalijaga. Namun orang Jawa Timur mengatakan asalnya dari Sunan Drajat. Jadi tafsiran bergantung kepentingan lokasi penafsirnya.
Ada lagi yang menafsirkan kupat berasal dari bahasa Arab حفظ (khufazh). Artinya, menjaga. Entah benar atau tidak pelafalan Arabnya itu.
Katanya, menjaga nafsu empat. Nafsu amarah, nafsu makan, nafsu serakah, nafsu kuasa.
Lalu ini dikaitkan dengan lepet. Ditafsiri berasal dari kata Jawa lepat (salah). Kalau mengikuti tafsir itu kupat lepet adalah campuran kata Arab-Jawa yang dipadukan menjadi bermakna menjaga nafsu empat dan mohon maaf dari kesalahan.
Ada lagi orang menafsirkan janur yang dipakai untuk membungkus ketupat dan lepet berasal dari kata Arab ja’a dan an-nuur. Artinya, telah datang cahaya. Cahaya bagi orang yang berpuasa Syawal.
Padahal janur itu asli kekayaan kosa kata bahasa Jawa sebutan untuk daun kelapa muda. Daun kelapa tua disebut blarak. Tangkai daun kalau dipisahkan dari daunnya disebut sada (baca: sodo). Sada kalau dipotong kecil-kecil disebut biting.
Kalau diperhatikan semua tafsir itu hasil otak-atik gatuk. Boleh jadi kata kupat karena bentuknya yang segi empat. Bahasa Jawa menyebut papat (empat). Lalu berubah kata menjadi kupat.
Kupat, ketupat, katupek hampir ada di semua daerah nusantara. Kalau mengikuti tafsir Jawa itu pasti gak nyambung. Membuat ketupat dimungkinkan karena di negeri ini banyak pohon kelapa atau nyiur. Sampai ada sebutan negeri nyiur melambai di tepi pantai.
Di tanah Minang, Betawi, Makasar sehari-hari biasa mendapati ketupat. Ada penjual ketupat sayur di Jakarta, coto makasar makannya dengan ketupat bukan nasi.
Jadi ketupat itu variasi memasak beras. Tidak melulu menjadi lontong yang dibungkus daun pisang. (#)
Penyunting Sugeng Purwanto
Sumber : https://tagar.co/riyaya-kupat-lebih-meriah-dari-idulfitri/