Oleh: R. Moh. Abiy Febriyan L. Kelas 8

Madu. Karena sebuah insiden kecelakaan, dia sekarang harus memakai kursi roda untuk bergerak. Kakinya kaku. Tak sepenuhnya—tapi sekarang Madu sangat kesusahan dalam menggerakkan kakinya. Itu lah kenapa dia menggunakan kursi roda sekarang. Meskipun begitu, Madu memilih agar sekolah di sekolah umum. Dia ingin membuktikan bahwa meskipun tidak bisa menggunakan kaki, ia tetaplah anak yang bisa berbaur pada sekitar.

SMA Bianglala. Adalah Sekolah Menengah Atas yang dipilih oleh kedua orangtuanya. Meski bukan sekolah khusus difabel. Tapi sekolah ini menyediakan setidaknya jalur tangga khusus untuk pengguna kursi roda. Karena salah satu guru di SMA Bianglala juga pengguna kursi roda, sama seperti Madu. Singkatnya begitu. Sekarang adalah sesi paling menakutkan yang bisa Madu bayangkan. Berkenalan dengan murid-murid baru langsung di depan kelas. Madu gugup, ia berharap bisa bicara dengan jelas saat perkenalan nama nanti.
“Baik anak-anak mohon perhatian sebentar, pelajaran bapak hentikan dulu.” Pak guru menepuk-nepuk tangan, meminta perhatian seluruh penghuni kelas.
“Hari ini kalian mendapatkan teman sekelas baru. Dia penyandang disabilitas. Jadi, mohon kalian bantu dan berikan dia kesan baik pada sekolah kita. Paham?” tanya pak guru di akhir penjelasan.
Semua murid menjawab serentak, “PAHAM, PAK!!”

“Nah. Ayo, nak Madu ke sini. Nggak usah malu-malu.”

“Iya, pak…”
Madu menggerakkan roda kursinya perlahan. Dia sedari tadi hanya mendengarkan dari luar kelas, ada sedikit kendala jadinya Madu tak bisa langsung masuk. Pak guru membantu memutarkan kursi roda Madu agar bisa langsung bertatap muka dengan seluruh penghuni kelas. Yang bakalan jadi calon temannya untuk tiga tahun kedepan. Dengan gemetar, Madu pun bicara, “Halo semua… Namaku Madu. Salam kenal. Semoga kita bisa jadi teman baik.”

Satu kelas bertepuk tangan. Madu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Iya, itu cuma reaksinya menahan malu. Guru terkekeh sebentar melihat respon Madu. Kemudian, ia coba mencari bangku kosong untuk Madu. Beberapa saat mencari, sepertinya memang hanya ada satu tempat saja yang tersisa.
“Madu, kamu sebelahan sama anak perempuan, gpp, kan?” tanya pak guru memastikan. Madu mengangguk, “Okay, kalau begitu Madu duduk di sebelah Rosa. Ayo Rosa, angkat tangan.”
Terlihat, seorang gadis yang duduk di bangku tengah pun mengangkat tangan. Madu tidak perlu bertanya atau diberitahu soal gadis yang akan jadi teman sebangkunya. Bisa dilihat dari penampilannya yang memancarkan aura-aura cewe populer yang jadi most wanted seperti di novel-novel yang biasa ia baca. Dengan ragu, ia pun menggerakkan kursi rodanya ke bangku gadis rupawan itu, kursi duduknya dipindahkan ke belakang. Tentu saja. Buat apa? Kan Madu memang sudah duduk?

”H-halo… Salam kenal. Rosa.” sapa Madu berusaha menggunakan teknik SKSD.

Rosa berdehem singkat sebagai bentuk jawaban. Madu langsung terdiam. Sial, canggung sekali suasananya. Akan susah kalau terus-terusan begini.

“Maaf, apa aku bikin kamu risih? Maaf kalau iya.” ujar Madu. Ia melihat tatapan Rosa sangat kosong terhadapnya. Seolah tak ada ketertarikan apapun.

“Jangan asal menyimpulkan. Aku cuma nggak tau mau bahas apa sama kamu.” balas Rosa.

“Eh, gitu, ya? Aku kira kamu nggak suka aku. Hehe. Bagus deh.” setidaknya, Madu tau kalau Rosa tidak membencinya karena menjadi penyandang disabilitas.

Dari arah kiri bangku mereka. Ada satu gadis lain dengan senyum cerah, mata antusiasme, dengan gelang dari karet sedang menatap keduanya. Matanya tak bisa berbohong, ia tertarik sekali mau bicara pada Madu.

“Hei, kamu Madu, kan?” Madu menoleh, ”eh, iya, aku Madu.”
“WAH! NAMA MU UNIK BANGET! Salam kenal ya! Aku Salva. Panggil Sal atau Va aja nggak masalah kok. Aku suka banget makan bakso. Di kantin ada penjual bakso yang rasanya enak pol! Tenang, nanti kamu ku ajak ke sana waktu jam istirahat. Kalau kamu Madu, suka makanan apa? Ada alergi, kah? Biar nanti nggak ku kasih makanan yang bikin kamu alergi. Atau minuman favorit—”

“Tolong, satu-satu. Aku bingung mau jawab yang mana…” Madu langsung memotong karena sepertinya gadis yang bernama Salva itu tak akan berhenti bicara jika tak diminta. Berbanding terbalik dengan Rosa yang agak irit bicara dan to the point. Salva ini tipikal yang lebih suka ngoceh, ngoceh, ngoceh, dan ngoceh.

Salva terkekeh lucu, “Maaf deh, aku nggak sabar mau tunjukin semua hal tentang sekolah kita ke kamu!”

“Itu bohong,” Rosa mendadak berceletuk, “dia cuma suka bahas tentang apa yang dia suka. Dengan kata lain. Dia suka sekolah ini.”

Salva menjentikkan jari, bingo! Itu adalah kalimat yang diucapkan oleh wajah Salva. Tanpa bicara apapun, semua orang bisa menebak apa maksud gerakan tubuhnya.

“Pinter banget Rosa! Bener. Sekolah kita punya banyak hal menarik. Nggak cuma penjual bakso enak. Ada juga ruang musik yang katanya ada hantu. Guru cakep. Momen lucu sewaktu Madu belum masuk. DLL.” jelas Salva panjang lebar. Madu cuma bisa angguk-angguk.

Dug! Dug! Dug!

Madu dan Salva menoleh ke depan. Terlihat pak guru sedang menatap mereka.

“Sudah? Salva, jangan ajak Madu bicara, ini masih tetap jam pelajaran saya. Dan buat Madu. Tolong jangan terlalu ditanggapi. Salva memang speaker kelas ini. Bahkan suara speaker yang asli pun kalah sama suara dia.”

Satu kelas tertawa mendengar kalimat pak guru. Karena memang begitulah adanya. Salva lebih sering terdengar bersuara ketimbang speaker pengumuman di sekolah mereka. Jadi wajar saja jika gurunya mengatakan itu. Salva sendiri juga tertawa kok, toh, dia tau faktanya kan memang begitu. Untuk pertama kalinya, Madu tertawa kecil, wahai, baru juga masuk ke sekolah baru sudah dibuat tertawa karena tingkah absurd teman sekelasnya.

“Baik-baik, cukup ya tertawanya. Ayo. Kita mulai sesi pelajaran ini dengan serius. Madu, belum punya buku paket atau tulis?”

“Belum, pak.”

“Yasudah, gabung dengan Rosa dulu. Besok dimohon setidaknya bawa buku tulis, minta catatan ke Rosa, paham?”

“Iya pak, saya paham.”

Kemudian, pelajaran yang sesungguhnya pun akhirnya dimulai. Ini benar-benar pengalaman yang tidak ada dalam bayangan Madu. Rosa terlihat fokus mendengarkan apa yang diterangkan oleh guru di depan. Sementara Salva kelihatan sesekali mencatat. Baiklah, ini masih hari pertama, ia akan coba memahami semua pelajaran secara bertahap dulu. Ia kan masih baru, perlu adaptasi.

KRIIIING!!!!

Semua siswa-siswi berhamburan ke kantin. Suasana jadi agak ricuh dan sesak karena jumlah murid yang sangat banyak keluar dari dalam kelas dengan serentak. Daripada mengambil risiko. Takutnya ia tak sengaja terjatuh dari kursi roda, terus malah diinjak-injak murid lain. Lebih baik ia mencari aman. Madu akan keluar jika suasana dirasa sudah lebih kondusif baginya. Rosa mengambil kotak bekal dari dalam tas. Menaruhnya di atas meja. Membuka tutup, aroma masakan pun memasuki hidung Madu, ia spontan menoleh.
“Oh, kamu makan nasi goreng?” Rosa mengangguk, mulai memasukkan satu sendok nasi goreng hangat ke mulut.

“Anu… Aku sebenarnya mau keluar. Tapi keadaannya nggak pas. Cuma, itu, ermm… Boleh tolong bantu—”

“Madu, yow!”
“YAAAKH!!!” Madu tersentak. Ia kaget karena Salva mendadak memegangi pundaknya saat sedang menjelaskan dengan gugup.

Madu menoleh, “Salva! Jangan bikin kaget! Kalau aku jatuh dari kursi gimana?!” omel Madu kesal.

“Eh, maaf Madu, aku nggak nyangka reaksi mu bakalan segitunya,” Salva memijat pundak Madu lembut, berusaha membuat si empu lebih tenang, ”gimana kalau aku ajak kamu ke kantin? Aku yang dorong deh. Sekalian traktir.” Madu sudah berbinar. Ketika ingin mengangguk, tiba-tiba lengan Salva ditahan oleh Rosa.

“Nggak usah. Kamu cuma bakal bikin keadaan makin ruwet. Aku tadi yang ditanya duluan sama Madu.” Salva ber-oh panjang. ”Tumben banget kamu mau anterin orang, Sa? Biasanya juga ogah.”

“Aku cuma mau menuruti kemauan pak guru tadi. Buat Madu nyaman selama ada di sini. Apa aku salah kalau sesekali bantu murid lain?”

“Ya, nggak juga sih. Yaudah, BERTIGA AJA GIMANA?”

Rosa dan Madu tertohok. Astaga. Ujung-ujungnya ambil jalan tengah.

“Ini bukan ajang kompetisi siapa yang paling baik ke Madu, Sal.” timpal Rosa, nadanya melambat, ini adalah nada yang menunjuk bahwa ia sudah mulai malas melanjutkan topik.

“Lah? Aku kan emang baik ke siapa aja. Udah ah, ayo, kasihan tuh, Madu udah keroncongan. Iya, kan?”

“Eh? Umm… Iya.”
“Sip! GAS, MELUNCUR!!!” Salva mendorong kursi roda Madu kencang. Melenggangkan diri dari kelas. Rosa menghela napas sejenak sebelum ikut menyusul keduanya. Rosa menghela napas sejenak sebelum ikut menyusul keduanya menuju kantin.

Setibanya di kantin. Salva langsung memberitahu semua makanan, minuman, dan toko yang ada di area kantin tersebut.

“Yok, mau makan apa? Roti ada, mie ada, bakso ada, siomay ada, cilor ada, bakpao ada, cemilan ada. Atau mau makanan yang berat? Nasi goreng ada, nasi bakar ada, nasi campur ada, nasi uduk ada, rendang ada. Kalau butuh minum… Hmmm… Milo ada, es teh ada, jamu ada, lemon ada, teh tarik ada, kopi ada, semua ada!”

Madu diam mematung. Ia berusaha keras mencerna semua yang dikatakan Salva padanya. Meskipun gagal, Madu mengangguk seolah paham, agar menjaga perasaan Salva. Dengan gemas, Rosa menyubit pinggang Salva keras.
“AW! Heh, kenapa aku dicubit!?”
“Ketimbang sebutin semua yang ada di sini satu-satu. Kenapa nggak tanya Madu mau makan apa? Kalau ada, baru kita pergi ke sana.”

“Ohh…” demi apapun Salva baru terpikirkan hal itu, ”kalau gitu, Madu, mau makan kue cubit—AW! Kenapa aku dicubit lagi, heh!”
“Jangan nyeleneh.” Salva berdecih, ”nggak asik. Yaudah. Jadi Madu, mau makan apa? Di sini lengkap kok!”

Madu nampak berpikir sejenak. Ia tak mau kelihatan maruk. Sebagai murid baru, ia harus punya etika dan adab yang bagus, jadi, Madu memilih makanan paling simpel.
“Aku mau roti bakar. Apa itu ada?” dengan mantap Salva memberikan dua jempol. Ia mendorong kursi Madu ke toko yang menjual roti bakar. Lagi-lagi meninggalkan Rosa di belakang.
”Kenapa Salva suka banget lari secepat itu?” monolog Rosa yang kemudian menyusul keduanya kembali.
***
Keramaian kantin terus terdengar memekakkan telinga. Suara tawa, teriakan memesan makanan, hingga dentingan sendok di gelas bercampur jadi satu. Di tengah hiruk-pikuk itu, Madu, Rosa, dan Salva duduk di bawah pohon rindang, menikmati makanan mereka. Ketiganya asyik mengunyah dalam diam, sampai Madu akhirnya membuka suara. “Kalian sebenarnya teman lama atau gimana, sih? Kok kayaknya dekat banget?”

Salva menepuk dagunya, berpura-pura berpikir. “Kami itu… nggak deket kok.”
Madu spontan memiringkan kepala, bingung. Dari cara mereka bicara dan bercanda tadi, bukannya kelihatan seperti sahabat dari TK? Karena menangkap ekspresi bingung Madu, Rosa pun meluruskan. “Aku dan Salva jarang banget ngobrol kayak tadi. Biasanya paling cuma jawab pendek. Kayak ‘hm’, ‘nggak’, ‘ya’, atau ‘oke’ doang.”

“Benar banget!” sahut Salva sambil menunjuk Rosa dengan garpu. “Baru kali ini kami ngobrol panjang gini. Dan penyebabnya adalah… kamu, Madu!”

Madu terdiam sejenak. “Aku…?”

“Iya!” Salva tertawa ringan. “Tanpa sadar, kamu tuh kayak lem di antara aku dan Rosa. Biasanya aku ngoceh sendiri, Rosa cuma angguk-angguk. Eh, pas ada kamu, jadi ngalir aja.”

Madu tersenyum kecil. Dia memang belum benar-benar mengenal dua teman barunya ini, tapi rasanya… dia sudah jadi bagian dari mereka.

Intinya, ia merasa senang karena sudah bisa dianggap sebagai sesuatu. Bukannya cuma anak penyandang disabilitas yang bahkan berjalan pun tak mampu.

Rosa dan Salva… Dua nama yang tak akan pernah Madu lupakan dalam hidupnya. Karena, keduanya sekarang bisa ia panggil sebagai, ”teman,” secara sah. Iyakan?

Salva menelan satu bakso terakhir. Menepuk-nepuk perut karena kenyang setelah makan bakso dua mangkok.  Cewe-cewe kalau laper memang ngeri. Roti bakar madu bahkan baru habis setengah. Sedangkan Rosa… Dia sebenarnya tidak makan apapun. Eh, iya juga, Madu baru sadar, kenapa Rosa tidak ikut makan bersama mereka, ya?

”Kamu nggak laper, Ros?” Rosa menggeleng pelan, ”Aku bukan tipikal cewe suka makan. Porsi makan ku juga nggak sebanyak kayak si Salva bontot.”

Salva terbatuk, ”Heh! Maksudnya aku bontot itu apa, ya, wahai nona Rosa? Cakep begini dibilang bontot,” balas Salva tak lupa memainkan rambutnya ala-ala.
Madu tertawa geli melihat keduanya. Salva sangat bisa membuat perutnya sakit karena tertawa. Dia jadi lupa dengan kondisinya yang sempat membuat dirinya terpuruk. Tiba-tiba, suara kematian pun berbunyi…

KRIIING!!!
Bel masuk berbunyi nyaring. Murid-murid mendesah kecewa. Cepat sekali waktu berlalu kalau sedang istirahat, yang tadinya mereka istirahat 20 menit, rasanya seperti baru 5 menit. Tak menunggu lama, Rosa mengajak Madu dan Salva untuk segera kembali ke kelas. Jika terlambat. Mereka bisa kena sanksi berat. Guru-guru di SMA Bianglala cukup anti dengan yang namanya terlambat. Hampir tak pandang bulu. Rosa yakin, Madu dengan kondisi khususnya pun tetap akan dihukum sama seperti murid biasa. Mereka pun berjalan, hingga tiba di anak tangga. Madu menggunakan anak tangga khusus kursi roda. Dibantu Salva yang dengan suka hati mendorongkannya.
Baru setengah jalan, mendadak kursi roda Madu macet. Tak bisa digerakkan. Salva sudah berusaha mendorong sekuat tenaga, tapi nihil, kursi roda itu tetep diam.
”Aduh, macet lagi.” keluh Madu, ia ikut berusaha memperbaiki, meskipun tak ada gunanya.
”Lagi?” Rosa bertanya, ”apa tadi sempat macet juga?”
”Huum, sebelum masuk kelas, mendadak kursi roda ku macet. Tapi setelah beberapa saat digoyangkan, akhirnya kembali normal.” jelas Madu.

Rosa berjongkok, melihat seluruh bagian kursi roda sejeli mungkin. Ia berteori kalau kursi roda Madu macet bukan karena kesalahan teknis, tapi ada yang menghalangi. Beberapa saat… Rosa temukan penyebabnya! Dengan lembut, Rosa menarik biang kerok dari macetnya kursi roda Madu. Ternyata. Itu adalah benang yang tersangkut di antara bannya. Pantas saja tak bisa digerakkan.
”Kok bisa ada benang di roda mu, Madu?” Tanya Salva heran.

”Oh, itu…” Madu berusaha mengingat, ”mungkin karena sebelumnya kucing di rumah ku main sama bola benang. Tadi pagi waktu bangun. Aku lihat dia tidur di sebelah kursi roda ku sambil gigit bola benang.”

Rosa dan Salva mengangguk, itu masuk akal, bisa jadi kucing Madu bermain sangat brutal hingga menyebabkan benangnya tersangkut dan terputus di rodanya. Masalah selesai, mereka bertiga kembali masuk ke kelas tepat waktu. Untung Rosa sangat hebat dalam menelaah sesuatu dengan matanya. Itu juga alasan kenapa Rosa saat pelajaran lebih suka melihat langsung ke papan tulis ketimbang sambil mencatat. Kalau Salva. Dia suka menulis. Lebih gampang mengingat sesuatu dengan mencatat. Saat di kantin tadi, Salva menyinggung sedikit soal buku hariannya. Yasudah, nanti ia tanyakan, sekarang ia juga harus fokus belajar agar tak kalah dari mereka berdua!
***

Jam pulang pun tiba. Madu mengemaskan barang-barangnya ke dalam tas, agar mudah, ia meletakkan tasnya di paha. Jadi, ia tidak kesulitan saat menempatkan barang-barangnya di dalam tas.
”Madu~!” tiba-tiba, Salva memanggilnya dari arah belakang, ”kamu mau pulang, kan? Sebelum itu, kasih nomor WA, dong. Biar kita bisa chattingan.”

Madu mengangguk. Iya juga. Kalau bisa chattingan kan bakalan lebih mudah saat bertanya-tanya soal informasi seputar sekolah. Akhirnya, keduanya pun saling bertukar nomor WhatsApp, Salva juga mengajak Madu untuk pulang bersama. Walau—Salva tak tahu dimana rumah Madu. Begitupula sebaliknya.

”Rumah mu dimana sih, Madu?” tanya Salva.

”Rumah ku ada di jalan Mangga Tiga. Cukup dekat. Kita nggak perlu kendaraan. Kalau rumah mu?”

”Rumah ku agak jauh sih. Tapi bisa lah jalan kaki. Ayo, kita sejalan kok—
”Tunggu,” keduanya spontan berbalik badan setelah mendengar suara familiar. Tak lain. Suara dari Rosa, ”aku ikut.”

”Eh, emang rumah mu ada dimana, Ros?” tanya Salva.

”Aku satu jalan dengan Madu.” balas Rosa.

Madu memiringkan kepala. Benarkah? Tapi dia tak pernah melihat Rosa sama sekali.

”Kok aku nggak pernah lihat kamu, Sa?”

”Aku—”
”Nolep kan?” setelah mengatakan itu, Salva pun diberikan cubitan cinta dari Rosa. Salva meringis sembari memegangi pinggangnya yang cenat-cenut.

”Bisa nggak, kalau kesel jangan nyubit-nyubit anak orang? Sakit tau!” pekik Salva dengan raut wajah sebal. Rosa mengedikan bahu tak peduli.
”Kita mungkin kebetulan nggak ketemu tiap keluar rumah. Sudah, ayo pulang, keburu malam.”
”Ya… Oke deh.”
Ketiganya pun berjalan santai di area trotoar. SMA Bianglala mulai hilang dari pandangan mereka. Tergantikan oleh motor-motor dan mobil yang lalu-lalang di jalanan. Klakson terdengar beberapa kali karena sebuah kemacetan kecil. Di jalan, suasana nampak damai bagi mereka bertiga. Apalagi Madu. Ia bersyukur bisa langsung dekat dengan orang baru. Apalagi. Bisa langsung sedekat ini dengan Salva dan Rosa.
”Terimakasih, ya.” lirih Madu, ”aku kira bakalan susah dapat teman tadi. Karena nggak ada yang suka orang cacat macam aku. Tapi kalian bisa menerima aku, bahkan tanpa mempermasalahkan kursi roda ini sama sekali.”
Salva dan Rosa berhenti. Saling berbagi pandangan sejenak. Kemudian tersenyum tipis. Keduanya menatap Madu bersamaan.

”Kami nggak mempermasalahkan apa kekurangan mu, Madu. Cacat atau nggak, aura yang kamu pancarkan itu udah bagus banget.” ujar Rosa.

”Apalagi, waktu perkenalan mu di depan. Lucu banget, aw!” timpal Salva.

”Tenang aja. Setelah ini. Bukan cuma kami berdua yang akan jadi teman dekat mu. Besok-besok bakal ada orang lain yang akhirnya tertarik dengan aura positif mu. Kamu baik. Soft spoken. Siapa yang nggak mau kenalan sama orang kayak kamu, hm?” jelas Rosa panjang lebar. Ini pertama kalinya Madu (Salva juga sih) mendengar penjelasan panjang lebar dari Rosa. Bahu Madu bergetar. Matanya memanas. Hatinya berbunga-bunga dan terasa lega. Ia terharu, air matanya turun ke pipi, disusul senyuman manis di wajah.

”Sekali lagi… Terimakasih sudah mau jadi temanku… Salva, Rosa.” ungkap Madu sesegukan. Spontan. Kedua teman barunya memeluk dirinya erat. Rasanya hangat… Nyaman… Dan ini lah yang berusaha Madu cari disaat ia terpuruk karena kehilangan kemampuan berjalannya.

[ E N D ]