• Jl. Gogor IV No.6-8, Kel. Jajartunggal, Kec. Wiyung, Surabaya, Jawa Timur.
  • (031) 7663913
  • 06.30 WIB s.d 17.00 WIB
  • Jl. Gogor IV No.6-8, Kel. Jajartunggal, Kec. Wiyung, Surabaya, Jawa Timur.
  • (031) 7663913
  • 06.30 WIB s.d 17.00 WIB

Pencuri Shalat seperti Disebutkan Nabi

Pencuri Shalat oleh Aji Damanuri, dosen IAIN Ponorogo.

PWMU.CO– Sesungguhnya shalat itu melatih kesabaran dan ketenangan, karenanya dalam shalat ada ajaran tumakninah yang berarti tenang.

Tumakninah memberi kesempatan kepada orang yang shalat untuk menghayati bacaan dengan tenang, menyempurnakan rukuk dan sujudnya. Memang tidak ada batasan yang pasti seberapa lama tumakninah dilakukan. Namun penghayatan dan ketenangan tidak mungkin bisa dilakukan dengan tergesa-gesa.

Jangan sampai shalat kita seperti sopir angkot kejar setoran. Menurut bahasa tumakninah artinya tenang atau diam sejenak. Menurut istilah, diam setelah gerakan atau diam di antara dua gerakan sehingga memisahkan. Misalnya antara bangkit dari rukuk dan turun dari rukuk hendak sujud.

Sayangnya, dalam beberapa gurauan yang tampaknya menjadi kenyataan, ada sebagian umat yang memilih Tarawih lebih ringkas dan cepat bukan karena kuatnya ketaatan dan pegangan terhadap dalil namun lebih pada keinginan untuk segera melakukan kegiatan lain.

Bahkan ada yang shalat 20 rakaat hanya dalam waktu 7 menit. Rakaat 8 tapi kecepatan 20 rakaat. Shalat yang khusyu dilakukan dengan serius, menghayati makna setiap bacaan, merasa menghadap Tuhan dengan adab seorang hamba.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, ad Darimi, Ibn Khuzaimah, ibn Hibban dan al Hakim, dari Abu Sa’id al Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya pencuri yang paling buruk adalah pencuri shalat.

Lalu ada yang bertanya: bagaimana orang pencuri shalat ya Rasulullah? Beliau menjawab: ia tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya.

Coba kita perhatikan. Bahkan Rasulullah menjuluki orang yang tidak tumakninah sebagai pencuri shalat.

Kualitas Shalat

Hanya saja kebanyakan orang lebih sibuk membahas berapa banyak rakaat shalatnya dibanding berusaha memperbaiki kualitasnya. Saya termasuk yang jenuh melihat perdebatan rakaat Tarawih. Dari saya kecil sampai menjelang tua ini perdebatan tidak beranjak setapak pun. Tidak ada pembahasan dan perdebatan serius bagaimana kaifiyyah (tata cara) shalat yang mencerminkan shalat yang sesungguhnya.

Shalat 20 rakaat dengan tata cara seperti Masjidil Haram paling tidak 2 jam, atau cukup 7 menit ala Blitar.

Bagaimana mungkin shalat tarawih yang istimewa sebagai qiyamu lail di bulan suci Ramadhan dikerjakan dengan hanya mengejar kuantitas dan mengabaikan kualitas, mengabaikan tumakninah.

Jarang dilakukan pembahasan dan verifikasi benarkah perbuatan Tarawih kita sesuai ajaran para ulama yang kita banggakan jumlah rakaatnya. Atau menyesuaikan dengan cara shalat Nabi yang kita anggap paling mendekati kebenaran.

Memang tidak ada jaminan bahwa yang shalat lebih lama lebih berkualitas. Bisa saja setan masuk dan membuat orang yang shalat melamunkan hal lain di luar shalat. Namun shalat dengan tergesa-gesa bukanlah ajaran ulama sebagaimana tertulis dalam kitab-kitab hadits maupun fiqih.

Menurut Sayyid Tsabiq, tumakninah adalah diam beberapa saat setelah tenangnya anggota-anggota badan. Meskipun tidak ada kepastian berapa lama, namun para ulama memberi batasan minimal tumakninah dengan lama waktu yang diperlukan ketika membaca tasbih (bacaan rukuk atau sujud).

Meninggalkan tumakninah berarti tidak meluruskan dan mendiamkan punggung sesaat ketika rukuk dan sujud, tidak tegak ketika bangkit dari rukuk serta ketika duduk di antara dua sujud.

Semuanya merupakan kebiasaan yang sering dilakukan oleh sebagian besar kaum muslimin. Padahal batasan tumakninah sekadar membaca tasbih (subhanallah) dengan tenang sampai ruas-ruas tulang menjadi lurus.

Mengulangi Shalat

Pernah suatu ketika ada sahabat yang disuruh oleh Rasulullah mengulangi shalatnya. Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw masuk ke masjid, kemudian ada seorang laki-laki masuk masjid lalu shalat. Kemudian mengucapkan salam kepada Nabi saw.

Beliau menjawab dan berkata kepadanya,”Kembalilah dan ulangi shalatmu karena kamu belum shalat!” Maka orang itu mengulangi shalatnya seperti yang dilakukannya pertama tadi.

Lalu datang menghadap kepada Nabi saw dan memberi salam. Namun Nabi kembali berkata: ”Kembalilah dan ulangi shalatmu karena kamu belum shalat!”

Beliau memerintahkan orang ini sampai tiga kali hingga akhirnya laki-laki tersebut berkata,”Demi Dzat yang mengutus anda dengan hak, aku tidak bisa melakukan yang lebih baik dari itu. Maka ajarkanlah aku!”

Beliau lantas berkata: ”Jika kamu berdiri untuk shalat maka mulailah dengan takbir, lalu bacalah apa yang mudah buatmu dari al-Quran kemudian rukuklah sampai benar-benar rukuk dengan tumakninah (tenang), lalu bangkitlah (dari rukuk) hingga kamu berdiri tegak, lalu sujudlah sampai hingga benar-benar tumakninah, lalu angkat (kepalamu) untuk duduk hingga benar-benar duduk dengan tumakninah. Maka lakukanlah dengan cara seperti itu dalam seluruh shalat (rakaat) mu.” (HR Bukhari dan Muslim)

Pada hadits di atas, Rasulullah menegaskan pentingnya tumakninah di setiap pergerakan. Bahkan dalam sebuah hadits lain lebih tegas disebutkan: ”Tidak sah shalat seseorang, sehingga ia menegakkan (meluruskan) punggungnya ketika rukuk dan sujud.” (HR Hadits riwayat Abu Daud, dalam shahihul jami’, hadits No: 7224)

Orang yang biasa shalat cepat dengan memantul seperti patukan ayam bisa memperhatikan hadits berikut. Abu Abdillah Al Asy’ari ra berkata: Rasulullah saw shalat bersama sahabatnya, kemudian beliau duduk bersama sekelompok dari mereka. Tiba-tiba seorang laki-laki masuk masjid dan berdiri menunaikan shalat. Orang itu rukuk lalu sujud dengan cara mematuk.

Sujud dengan cara mematuk maksudnya: Sujud dengan cara tidak menempelkan hidung dengan lantai, dengan kata lain, sujud itu tidak sempurna, sujud yang sempurna adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas bahwasanya ia mendengar Nabi besabda: Jika seseorang hamba sujud maka ia sujud dengan tujuh anggota badan, wajah, dua telapak tangan, dua lutut dan dua telapak kakinya. (HR Jama’ah, kecuali Bukhari)

Abu Yusuf berpendapat, sebenarnya fardhu tumakninah itu cukup ringan hanya sekadar membaca tasbih sekali, namun pendapat ini dipilih Imam Syafi’i.

Menurut Abu Hanifah, Muhammad, dan Abu Yusuf, jikalau tidak tumakninah dalam shalat, boleh dan sah shalatnya. Artinya meskipun batas minimal hanya membaca satu tasbih tetap dilakukan dengan sempurna, tidak memantul, tujuh anggota badan menempel dengan baik, ruas-ruas tulang lurus ketika sujud dan rukuk, juga tegak ketika berdiri. Satu tasbih itu ukuran minimal, bukan ukuran ideal, artinya lebih lama dari itu lebih baik.

Berdasarkan beberapa hadits di atas, maka tumakninah ketika mengerjakan shalat adalah bagian dari rukun shalat. Shalat tidak sah kalau tidak tumakninah.

Nabi saw pernah berkata kepada orang yang shalatnya salah. Juga dengan dalil hadits-hadits di atas, tumakninah dilakukan ketika rukuk, i’tidal, sujud, duduk antara dua sujud.

Karena itu, lebih baik kita berusaha memperbaiki kualitas shalat kita daripada sibuk menyalahkan shalat orang lain. Kita manfaatkan shalat sebagai media pengendalian diri supaya bisa tenang dan khusyu.

Editor Sugeng Purwanto

Sumber : pwmu.co

Previous Post
Newer Post