• Jl. Gogor IV No.6-8, Kel. Jajartunggal, Kec. Wiyung, Surabaya, Jawa Timur.
  • (031) 7663913
  • 06.30 WIB s.d 17.00 WIB
  • Jl. Gogor IV No.6-8, Kel. Jajartunggal, Kec. Wiyung, Surabaya, Jawa Timur.
  • (031) 7663913
  • 06.30 WIB s.d 17.00 WIB

Hukum Jimat dan Pengobatan Alternatif dalam Islam

Hukum Jimat dan Pengobatan Alternatif dalam Islam; Kajian oleh Dr Aji Damanuri, Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah. Kabupaten Tulungagung; Dosen IAIN Ponorogo.

PWMU.CO – Terlepas dari viralnya fenomena perdukunan yang dibongkar oleh Pesulap Merah, sebenarnya profesi dukun telah ada sejak lama. Ada banyak varian dukun, tetapi secara umum hanya ada dua jenis yaitu dukun lahiriah dan dukun batiniah.

Dukun lahiriah biasanya menangani keluhan terkait dengan jasmani. Maka tidak heran kita kenal dengan dukun bayi, dukun pijat, dukun sangkal putung, dan lain-lain. Adapun dukun batiniah biasanya menangani masalah-masalah runani, seperti penglaris dagangan, lancar jodoh dengan pelet, dukun santet, ilmu kebal dan lain sebagainya.

Selain melakukan ritual kusus, biasanya kategori dukun terakhir ini juga memberikan jimat yang dipercayai memberikan manfaat bagi pemakainya. Namun dalam dunia  modern ada juga beberapa benda yang dipakai dan dianggap membawa efek positif bagi penggunanya, seperti kalung, gelang, cincin dan produk medis lainnya.

Lalu bagaimana kita tahu hal tersebut dibenarkan oleh agama atau dilarang? Masalah jimat ini pernah dinahas dalam rublik tanya jawab Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan akan saya uraikan dalam artikel pendek ini.

Jenis-Jenis Jimat

Jimat atau dalam bahasa Arab disebut dengan tamimah—bentuk jamaknya adalah tama’im—yaitu sesuatu yang digantungkan di leher atau pada selainnya berupa mantra-mantra, kantong berjahit, rajah atau tulang dan yang lainya, dengan tujuan untuk mendatangkan manfaat atau untuk menolak madharat.

Semakna dengan definisi di atas, tamimah adalah sesuatu yang dikalungkan di leher anak-anak sebagai penangkal penyakit ‘ain (penyakit karena pandangan mata orang lain yang dengki), dan terkadang juga dikalungkan pada orang-orang dewasa termasuk para wanita.

Dengan kata lain Jimat adalah suatu benda yang dianggap mengandung kesaktian (dapat menolak penyakit, menyebabkan kebal dan sebagainya).

عَنْ أَبِي بَشِيْرٍ الأَنْصَارِىِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ كَانَ مَعَ النَّبِيِّ صَلِّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى بَعْضِ أَسْفَارِهِ فَأَرْسَلَ رَسُوْلًا أَنْ لَا يَبْقَيَنَّ فِي رَقَبَةِ بَعِيْرٍ قِلاَدَةٌ مِنْ وَتَرٍ أَوْقِلَادَةٌ إِلَّا قُطِعَتْ [متفق عليه]

Diriwayatkan dari Abu Basyir al-Anshari ra, bahwa dia pernah bersama Rasulallah saw dalam satu perjalanan beliau. Lalu beliau mengutus seorang utusan (untuk mengumumkan): “Supaya tidak terdapat lagi di leher unta kalung (jimat) dari tali busur panah atau kalung apapun, kecuali harus diputuskan.” (Muttafaq alaih).

Tamimah ada dua macam, yaitu tamimah yang diambil dari al-Qur’an dan tamimah yang diambil selain dari al-Qur’an.

Pertama, Tamimah yang diambil dari al-Qur’an. Yaitu menulis ayat-ayat al-Qur’an atau asma’dan sifat Allah kemudian dikalungkan di leher untuk memohon kesembuhan dengan perantaranya.

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum mengalungkan tamimah jenis ini, akan tetapi pendapat yang benar adalah diharamkan. Hal ini didasarkan pada tiga hal:

  1. Keumuman larangan Nabi SAW serta tidak ada dalil yang mengkhususkannya
  2. Untuk tindakan prefentif (saddu adz-dzari’ah), karena hal itu menyebabkan dikalungkannya sesuatu yang tidak dibolehkan
  3. Bahwasannya jika ia mengalungkan sesuatu dari ayat al-Qur’an, maka hal itu menyebabkan pemakaiannya menghinakan, misalnya dengan membawanya untuk buang hajat, istinja’, atau yang lainnya.

Adapun menggantungkan tulisan ayat al-Qur’an, asma’ dan sifat Allah untuk tujuan perhiasan atau agar untuk dibaca ketika melihatnya, misalkan di dinding rumah, di pintu, atau di kendaraan, maka hal itu diperbolehkan.

Kedua, tamimah yang diambil selain dari al-Qur’an. Yaitu mengalungkan atau meletakkan jimat atau mantra di leher atau di tempat yang lain, dengan meyakini bahwa jimat atau mantra tersebut dapat memberikan manfaat atau menolak madharat.

Bentuk-bentuk  jimat atau mantra tersebut di antaranya; kantong berjahit, tulang, benang, rumah kerang, batu akik, mantra-mantra, atau ayat-ayat al-Qur’an yang sudah dibolak-balik sehingga maknanya tidak jelas, dan bentuk- bentuk lain yang serupa fungsinya.

Tamimah jenis kedua ini juga diharamkan dan termasuk syirik karena menggantungkan kepada selain Allah. Hal ini berdasarkan dalil-dalil dari nash, di antaranya adalah:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (an-Nisa’: 48)

Larangan Menggunakan Jimat

Islam memang melarang umatnya menggunakan tamimah. Tamimah (jamak tama’im) dalam bahasa Indonesia disebut jimat atau penangkal. Larangan tersebut terdapat dalam hadits yang telah saudara sebutkan:

مَنْ عَلَّقَ تَمِيْمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ. (رواه أحمد عن عقبة بن عامر الجهني)

“Barangsiapa yang menggantungkan (nasibnya) pada tamimah (jimat), maka sesungguhnya ia telah berbuat syirik.” (HR Ahmad)

Asbabul wurud hadits di atas adalah ketika ada suatu rombongan yang terdiri atas sepuluh orang datang kepada Nabi Muhammad SAW untuk berbaiat kepada beliau (menyatakan masuk Islam), lalu beliau membaiat yang sembilan orang dan menahan yang seorang.

Ketika ditanya mengapa menahan yang seorang, beliau menjawab: “Sungguh di pundaknya terdapat jimat”.

Kemudian laki-laki itu memasukkan tangannya ke dalam bajunya dan memotong jimatnya. Setelah itu, baru kemudian Rasulullah SAW membaiatnya seraya bersabda: “Barangsiapa yang menggantungkan (nasibnya) pada tamimah (jimat), maka sesungguhnya ia telah berbuat syirik.”

Hadis ini menegaskan orang yang menggantungkan jimat dan hatinya bergantung kepadanya, telah berbuat syirik. Hal ini dapat dilihat pada hadis sebagai berikut:

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَاِمرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ جَاءَ فِي رَكْبٍ عَشْرَةٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعَ تِسْعَةً وَأَمْسَكَ عَنْ رَجُلٍ مِنْهُمْ فَقَالُوْا: مَاشَأْنُهُ؟ فَقَالَ: ِإنَّ فِي عَضُدِهِ تَمِيْمَةً فَقَطَعَ الرَّجُلُ التَّمِيْمَةَ فَبَايَعَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ تَعَالَى عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ “مَنْ عَلَّقَ فَقَدْ أَشْرَكَ”. (رواه أحمد والحاكم)

“Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir ra, ada sepuluh orang lelaki datang menghadap Rasulallah saw dengan mengendarai kendaraan. Lalu Rasulullah membaiat sembilan orang di antara mereka, sedang yang satu tidak dibaiat.

Para sahabat kemudian bertanya: “Ya Rasulullah mengapa yang satu orang itu tidak dibaiat?” Jawab Rasulullah: “Sebab di lengannya terdapat jimat.” Kemudian lelaki itu melepas jimatnya, dan Rasulullah pun membaitnya. Kemudian Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa memakai jimat maka dia telah musyrik.” (HR Ahmad dan al-Hakim)

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى امْرَئَتِهِ وَفِي عُنُقِهَا شَيْءٌ مَعْقُوْدٌ فَجَذَبَهُ فَقَطَعَهُ ثَمَّ قَالَ لَقَدْ أََصْبَحَ آلُ عَبْدِ اللهِ أَغْنِيَاءَ أَنْ يُشْرِكُوْا بِاللهِ مَالمَْ يُنزِْلْ بِهِ سُلْطَانًا ثُمَّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ إِنَّ الرُّقَي وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ (رواه ابن حبان والحاكم و قال صحيح الا سناد)

“Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud ra, sesungguhnya dia  menemui istrinya, didapati istrinya mengenakan sesuatu (kalung) yang diikat di lehernya. Lalu Abdullah bin Mas’ud menarik dan memotongnya. Kemudian berkata: “Sungguh keluarga Abdullah tidak butuh berbuat syirik kepada Allah, dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjahnya.”

Kemudian berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya ruqyah (yang mengandung unsur syirik), tamimah dan tiwalah (sesuatu yang digunakan perempuan untuk membuat suaminya tertarik untuk mencintainya) adalah syirik.” (HR Ibnu Hibban dan al-Hakim, dia mengatakan hadits ini adalah shahih sanadnya).

عَنْ عُقْبَةَ بْنَ عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيْمَةً فَلَا أَتَمَّ اللهُ لَهُ (رواه أحمد)

“Diriwayatkan dari Uqbah ibn Amr, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa menggantungkan tamimah, semoga Allah tidak mengabulkan keinginannya.” (HR Ahmad)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُكَيْمٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ (رواه أحمد والترمذي)

“Diriwayatkan dari Abdullah bin Ukaim, barangsiapa menggantungkan sesuatu barang (dengan anggapan bahwa barang itu bermanfaat atau dapat melindungi dirinya), niscaya Allah menjadikan dia selalu bergantung kepada barang tersebut.” (HR Ahmad dan at-Tirmidzi)

عَنِ اْلحَسَنِ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ : أَنَّهُ رَأَى فِي يَدِ رَجُلٍ حَلَقَةً مِنْ صَفْرٍ فَقَالَ : ( مَا هَذِهِ ؟ ) قَالَ مِنَ اْلوَاهِنَةِ قَالَ : أَمَّا إِنَّهَا لاَ يَزِيْدُكَ إِلاَّ وَهْنًا وَإِنَّكَ لَوْ مُتَّ وَأَنْتَ تَرَى أَنَّهَا تَقِعُكَ لمت على غير الفطرة . (رواه الطبرنى)

“Diriwayatkan dari al-Hasan dari ‘Imran ibn Hushain, bahwasanya Nabi saw melihat di tangan seorang laki-laki ada sebuah tali (gelang) dari kuningan. Beliau bertanya: ‘Apakah ini?’ Laki-laki itu menjawab: Ini (untuk menghindarkan) dari penyakit yang melemahkan.

Nabi SAW bersabda: Sesungguhnya (dengan gelang itu) tidak akan bertambah bagimu kecuali penyakit lemah (wahn). Dan sesungguhnya jika engkau mati engkau akan tahu bahwa memakai gelang itu akan membuat engkau mati tidak dalam keadaan suci.” (HR ath-Thabrani).

Hukum Pengobatan Alternatif

Sementara itu, dalam hal pengobatan dengan memanfaatkan benda-benda berteknologi yang dilahirkan dari sebuah sains dan diakui dalam dunia medis bukan termasuk kategori jimat.

Namun harus tetap menata hati bahwa yang mendatangkan madharat dan manfaat hanya Allah semata. Nabi Muhammad SAW menyampaikan beberapa cara pengobatan yang bersifat alami, yaitu lewat mulut seperti minum madu (konteks kekinian bisa berujud pil dan kapsul), berbekam dengan mengeluarkan darah (konteks kekinian bisa berujud operasi), menempelkan besi panas pada bagian yang sakit (konteks kekinian bisa berujud penyinaran).

Semua bentuk pengobatan ini dianjurkan dalam Islam dan diajarkan oleh Rasulullah SAW.

Adapun mengenai pengobatan dengan menggunakan kalung tertentu dapat dikategorikan sebagai bentuk pengobatan dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam dunia kedokteran, pengobatan dengan menggunakan media tertentu (termasuk kalung terapis) termasuk dalam kategori pengobatan alternatif.

Pengobatan alternatif merupakan bentuk pelayanan pengobatan yang menggunakan cara, alat, atau bahan yang tidak termasuk dalam standar pengobatan kedokteran modern (pelayanan kedokteran standar) dan digunakan sebagai alternatif atau pelengkap pengobatan kedokteran modern.

Mengenai manfaat atau khasiat serta mekanisme dari pengobatan alternatif biasanya masih dalam taraf diperdebatkan. Untuk mengangkat pamor pengobatan alternatif, biasanya digunakan testimoni (pengakuan) dari pemakai yang berhasil sembuh dari penyakitnya.

Menurut Tarjih

Majelis Tarjih dan Tajdid telah mengeluarkan keputusan tentang hukum pengobatan alternatif ini, yakni pada Musyawarah Nasional Tarjih Ke-26 di Padang Sumatera Barat tahun 2003.

Dalam putusan itu disebutkan bahwa pengobatan alternatif dapat diterima apabila tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pengobatan dalam ajaran Islam dan praktik yang diamalkan Nabi SAW, yang intinya tertuang dalam syarat-syarat berikut:

  1. Syarat pengobat / pelaku pengobatan:
    • Memiliki pengetahuan dan keahlian;
    • Berakhlak mulia dan tidak merusak atau membahayakan akidah;
  2. Obat/alat pengobatan:
    • bukan barang haram atau bertentangan dengan syariah;
    • tidak mengandung unsur membahayakan;
  3. Cara / tehnik pengobatan:
    • Tidak mengandung syirik, bid’ah dan khurafat;
    • Tidak berbahaya ataupun membahayakan;
    • Tidak menggunakan unsur jin atau makhluk halus lainnya.

Adapun beberapa dalil al-Qur’an dan as-Sunnah yang digunakan sebagai rujukan tentang anjuran menjaga kesehatan dan pengobatan, di antaranya adalah sebagai berikut:

وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ

“Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku.” (al-Syu’ara: 80).

عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ. (رواه أبو داود)

“Diriwayatkan dari Ab¬u ad-Darda’, ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda: Sesungguhnya Allah mwenurunkan penyakit dan obatnya, dan memberikan obat untuk tiap-tiap penyakit. Oleh karena itu berobatlah kamu, tetapi jangan berobat dengan yang haram.” (HR. Abu¬ Dawud).

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَطَبَّبَ وَلَمْ يُعْلَمْ مِنْهُ طِبٌّ قَبْلَ ذَلِكَ فَهُوَ ضَامِنٌ. (رواه النسائي وأبو داود وابن ماجه)

Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Amr Ibn Syu‘aib, dari ayahnya (Syu‘aib), dari kakeknya (Abu Muhammad), ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda: Barangsiapa melakukan pengobatan padahal sebelumnya ia tidak dikenal ahli dalam pengobatan, maka ia bertanggung gugat.” (HR an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ibn Majah).

عَنْ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى الْمَازِنِيِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ. (رواه مالك و ابن ماجه وأحمد)

Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Amr Ibnu Yahya al-Mazini, dari ayahnya (Yahya), bahwa Rasulullah saw bersabda: Tidak ada bahaya (kerusakan) dan membalas bahaya (kerusakan).” (HR Malik, Ibnu Majah, dan Ahmad)

عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ اْلأَشْجَعِيِّ قَالَ كُنَّا نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ فَقَالَ اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ. (رواه مسلم)

Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik al-Asyja’iy, ia berkata: Di masa Jahiliah kami biasa menggunakan rukiah (pengobatan), maka kamipun bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang hal itu, kemudian (Nabi saw) menjawab: Tunjukkanlah kepadaku rukiah kalian, tidak apa-apa menggunakan rukiah selama tidak ada unsur syirik di dalamnya.” (HR Muslim)

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa semua wasilah non-syar’iyah yang mengarah pada kemusyrikan dilarang, (keyakinan bahwa ada selain Allah bisa mendatangkan madharat dan manfaat).

Sedangkan pengobatan dengan menggunakan wasilah medis atau alternatif pada dasarnya tidak dilarang, selama tidak menganggapnya sebagai jimat atau yang menyerupai dengannya dan tidak menyalahi syarat-syarat yang telah kami kemukakan.

Hanya saja, yang perlu diperhatikan adalah bahwa pada umumnya dalam pengobatan alternatif tidak memberitahukan tentang efek samping yang ditimbulkan dari pemakaiannya.

Untuk itu, jika ingin menggunakan salah satu produk pengobatan alternatif hendaknya berhati-hati dan mempelajari lebih dahulu secara cermat tentang manfaat dan efek sampingnya. Di luar konteks jimat dan kemusyrikan, maka informasi dan investigasi terhadap pengobatan harus dilakukan supaya aman dan membawa pada kebaikan. (*)

Viral Dukun Vs Pesulap Merah, Begini Hukum Jimat dan Pengobatan Alternatif dalam Islam; Editor Mohammad Nurfatoni

Sumber : pwmu.co

Previous Post
Newer Post