
Tagar.co – Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sistem adalah perangkat unsur yang saling berkaitan secara teratur sehingga membentuk suatu totalitas.
Sistem juga dapat diartikan sebagai susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas, dan sebagainya.
Sedangkan akhlak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah budi pekerti atau kelakuan.
Dalam keseharian kehidupan kita ada kata yang memiliki kata yang bermakna berimpit dengan akhlak yaitu adab atau etika.
Kedua kata memiliki perbedaan pada sumbernya, akhlak bersumber dari nilai-nilai yang bersifat agama atau wahyu, sedangkan adab bersifat lebih umum yang diantaranya bersumber dari adat istiadat, budaya, dan lain sebagainya. Sehingga sumber akhlak adalah Al-Quran dan As-Sunah dan bukan berasal dari akal budi manusia.
Akhlak terbagi menjadi dua yaitu akhlak mahmudah atau akhlak karimah (akhlak terpuji) dan akhlak madmumah atau akhlak qabihah (akhlak tercela).
Sedangkan adab atau etika hanya memberikan nilai-nilai yang bersifat kebaikan, sedangkan lawannya sering disebut sebagai biadab yakni menjadi tidak beradab.
Saat ini juga dikenal istilah loss of adab yaitu istilah yang digunakan untuk menggambarkan hilangnya adab atau disiplin, baik pada tubuh, pemikiran, maupun jiwa. Istilah ini dipopulerkan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
Sehingga membahas tentang akhlak tentu di dalamnya mencakup tentang adab atau etika, yakni tentang kesopanan, keramahan, kehalusan budi pekerti, dan oleh karena itu adab merupakan bagian dari akhlak yang terpuji.
Akhlak Islami
Sebagaimana dalam penjelasan di atas, akhlak itu bersumber dari wahyu, dan tentu saja di dalamnya mencakup semua ajaran agama samawi.
Akan tetapi dalam kajian ini kita tidak sedang membahas terkait agama selain Islam, karena hanya Islam agama yang sah di sisi Allah Subhanhu wa Ta’ala. Sehingga tema akhlak dengan tambahan islami di atas hanya untuk mempertegas saja bahwa akhlak yang terpuji itu ya pasti islami, karena ketentuan syara’ ini telah menjelaskan mana itu akhlak yang mulia dan mana saja yang termasuk akhlak yang tercela.
Sering juga dalam hal ini disebut dengan menggunakan kata adab misalnya adab makan dan minum, adab masuk dan keluar kamar kecil dan seterusnya. Karena semua kebaikan itu termasuk akhlak yang baik dengan catatan hal itu sesuai dengan ketentuan syara’, akan tetapi tidak cukup dengan itu bahwa akhlak itu berarti harus berlandaskan nilai keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jadi akhlak itu adalah mencakup adab yang baik dan dilaksanakan karena Allah semata.
Dengan demikian, syarat agar adab atau etika itu bernilai akhlak adalah di samping islami sekaligus Imani. Dalam surah Al-Ashr disebutkan bahwa semua manusia itu dalam kerugian kecuali bagi orang yang adabnya dikorelasikan dengan iman, iman dan amal saleh. Iman tanpa amal saleh berarti iman yang dusta, dan amal saleh tanpa iman tidak disebut sebagai ibadah.
Jadi akhlak yang terpuji atau akhlak yang mulia itu semuanya pasti bernilai ibadah kepada Allah, sebagaimana yang ditegaskan-Nya kepada kita dalam Az-Zariyat 56 bahwa: “Aku tidak menciptakan Jin dan Manusia kecuali agar mereka menyembah (beribadah) kepada-Ku”.
Ibadah adalah akhlak mulia yang diejawantahkan oleh seorang hamba yaitu dengan memenuhi syarat Imani dan islami.
Beribadah itu bukan tujuan hidup kita karena beribadah itu adalah tugas hidup kita. Setiap kita yang berhasil menjalankan tugasnya dengan baik pasti akan mendapatkan balasan yang diluar ekspektasinya.
Arah akhlak itu ada tiga yaitu pertama kepada Allah dan Rasul-Nya, kedua kepada kedua orang tua dan sesama manusia, serta ketiga kepada semua makhluk lainnya.
Kelengkapan ajaran ini yang menjadikan islam itu visi besarnya adalah rahmatan lil alamin, kasih sayang untuk semua penghuni alam semesta.
Misi utamanya adalah kaffatan linnas, karena semua manusia adalah sebagai subyek yang diciptakan sebagai khalifah-Nya di muka bumi ini.
Akidah Menginspirasi Akhlak
Islam mengajarkan tentang akidah atau keyakinan. Tentu agar umat manusia tidak membuat rekayasa sendiri tentang keimanan ini. Sesuatu yang sangat fundamental dan sangat prinsip ini tidak boleh berdasar hasil daya kreasi akal budi manusia yang sangat terbatas kemampuannya.
Maka akidah atau keimanan ini merupakan hal yang prinsip yang sudah ditetapkan berdasar ketentuan Al-Quran dan As-Sunah. Dan hal itu sekaligus ditetapkannya sebagai bingkai akidah yang jangan sampai melampaui terhadap apa yang sudah ditetapkannya itu.
Akidah dalam agama ini merupakan sumber perilaku, ia sebagai sumber motifasi atau niat, di mana niat itulah yang akan mendapatkan balasan sesuai niatnya. Akidah inilah yang sesungguhnya menjadi sumber akhlak yang terpuji atau akhlak yang mulia.
Akidah inilah yang menginspirasi bagi yang memilikinya akan bertingkah laku yang objektif berdasar keimanannya, jujur terhadap keadaan dirinya sendiri terutama dalam hal posisi di hadapan tuhannya, objektif melihat dirinya tanpa merasa lebih dari orang lain.
Akidah secara Bahasa berasal dari kata ‘aqada ya’qidu aqdan yang berarti mengikat, dalam bentuk masdarnya sering disebut sebagai akad termasuk di dalamnya adalah akad nikah, akad jual beli dan seterusnya.
Akhlak bersifat baik dan buruk, dan akidah inilah yang menjadikan pemiliknya berakhlak yang terpuji atau mulia.
Definisi akhlak itu adalah apa yang kokoh yang tidak akan ada penyimpangan darinya baik berupa kebaikan atau keburukan. Sedangkan akidah adalah sesuatu yang terikat dalam diri yang kokoh yang darinya muncul perbuatan-perbuatan baik atau akhlak terpuji dan mulia.
Dengan demikian akidahlah yang dapat mengantarkan seseorang untuk berakhlak dengan akhlak yang mulia.
Akidah itu merupakan pemahaman terhadap rukun iman yang benar, yang mampu mengubah hidup seseorang dari biadab menjadi beradab, mengubah dari tidak bermoral menjadi bermoral, mengubah tidak beretika menjadi beretika, mengubah tidak mampu membedakan akhlak tercela dengan akhlak terpuji dan menjadi memahami akhlak yang terpuji dengan sebaik-baiknya.
Bahkan karena akidahnya itulah ia menjadi pribadi yang mulia, berintegritas, tawadu dan anggun dalam bersikap dan seterusnya. Pribadinya menjadi pribadi yang memesona bagi lainnya.
Puncak akhlak atau dalam Al-Quran disebut khuluqun ‘adhim itu adalah pengejawantahan Al-Quran dan As-Sunah dalam kehidupan sehari-hari. Dan gelar itu hanya dimiliki oleh Rasulullah Shalawahualaihiwasallam.
Dalam bahasa lain sebagaimana hadis diriwayatkan oleh Ibunda ‘Aisyah Radhiayallahu ‘anha menyampaikan bahwa akhlak Rasulullah adalah Al-Quran, khuluquhul quran.
Adab sebelum Ilmu
Sekali lagi adab merupakan akhlak yang baik, dan memahami adab harus dilakukan daripada mempelajari ilmu. Tentu dalam hal ini adalah ilmu selain adab itu sendiri.
Jadi memahami ilmu yang terkait dengan akidah atau keimanan haruslah menjadi prioritas pertama dan utama. Adab tanpa ilmu masih mungkin ia akan menjadi orang saleh, tetapi ilmu tanpa adab akan menjatuhkan dirinya kedalam sikap loss of adab. Ilmu tanpa adab menjadi ilmu yang tidak bermanfaat.
Para ulama terdahulu selalu memahami adab sebelum menuntut ilmu. Bahkan hal itu dilakukan dalam jangka waktu yang lama, agar adab itu terpatri dalam jiwa, sehingga tumbuh berkecambah.
Adab yang dimaksud di sini adalah akhlak yang mulia berlandaskan keimanan yang kokoh. Dengan demikian yang pertama dan utama adalah mendahulukan memahami akidah ini dengan benar sebelum menuntut ilmu.
Imam Malik pernah berkata: “Ya ibnu akhi, ta’allam al-adaba qabla an tata’allam al-ilma.” Wahai keponakanku, pelajarilah adab sebelum engkau menuntut ilmu.
Di antara yang lain mengetakan: “Ya bunayya li an tata’allama baban min al-adabi ahabbu ilayya min an tata’allama sab’ina baban min abwabi al ‘ilmi.”
Wahai anakku sekiranya engkau belajar satu bab tentang adab lebih aku sukai daripada engkau belajar tujuh puluh bab dari bab-bab ilmu (lainnya).
Adab tanpa Ilmu
Fenomena sekarang ini, banyak orang yang berilmu dengan disiplin ilmu yang beraneka ragam, justru dengan ilmunya itu menjebak dirinya menjadi orang yang kehilangan rasa tawadu-nya.
Padahal ilmu itu semakin mendalam puncaknya adalah ia semakin merasa tidak tahu dan merasa belum seberapa. Sebagaimana Rasulullah saat menerima wahyu pertama, beliau menyatakan maa ana biqari’ aku tidak bisa membaca.
Dan itulah pula di antara surat-surat di dalam Al-Quran dimulai dengan huruf-huruf munqathiah yang menunjukkan ketidaktahuan dan kefakiran kita akan ilmu pengetahuan.
Allah mengilustrasikan ilmu-Nya sebagaimana lautan menjadi tinta, dan semua pepohonan menjadi pena, bahkan ditambah dengan tujuh lautan yang sama, tidak akan habis ilmu Allah ditulisnya.
Betapa fakir dan ringkihnya kita akan ilmu, baru senoktah dibagi sepertriliun sekian ilmu kita kadang sudah menjadikan kita merasa hebat dari lainnya.
Perasaan lebih dari yang lain karena belum terpatrinya nilai akidah kedalam jiwa. Ada perasaan takut tidak dianggap atau tidak diakui oleh orang lain.
Dan inilah yang menjadi bibit sifat sombong itu. Tidak rela direndahkan, dilecehkan bahkan dihina, menjadi perasaan yang sangat menakutkan dan mencekam. Menjadikan ia harus menunjukkan kesombongannya bahwa saya tidak sebagaimana yang diprasangkakan orang lain, dengan demikian penyematan gelar-gelar menjadi sebuah kebutuhan penting demi supaya ada pengakuan itu.
Akhlak islami mengajarkan bahwa tugas kehidupan ini adalah beribadah kepada Allah. Semua bentuk kelebihan itu bukan semata anugrah karena hasil usaha cerdas dan usaha kerasnya semata, tetapi tidak lain adalah sebagai pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan hal itu tidak lain sebagai amanah yang akan dimintai pertanggung jawaban.
Tentu tidak mudah dan menjadi beban berat bagi yang memahaminya. Jadi pendidikan utama dan pertama adalah tentang Adab, sehingga kelak menjadi apapun mereka generasi penerus itu akan menjadi ilmuwan yang beradab. (#)
Oleh Muhammad Hidayatulloh, Pengajar di Ponpes Elkisi, Mojokerto, Jawa Timur
Penyunting Mohammad Nurfatoni
Sumber : https://tagar.co/sistem-akhlak-islami-dan-fenomena-orang-berilmu-tanpa-adab/