
Hari ini, Senin 9 Juni 2025, adalah hari terakhir Tasyrik, karena hari raya Iduladha tahun ini jatuh pada Jumat 6 Juni 2025. Dalam ajaran Islam, penyembelihan hewan kurban dapat dilakukan pada hari raya dan tiga hari setelahnya, yakni pada hari-hari tasyrik, yaitu 11, 12, dan 13 Zulhijah.
Tapi, sebenarnya apa makna kurban itu? Kurban secara harfiah berarti “dekat” atau “mendekatkan diri”. Dalam konteks ibadah, kurban adalah wujud nyata dari ketaatan dan ketulusan seorang hamba dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt. Kurban bukan sekadar menyembelih hewan, tetapi mengandung makna spiritual, sosial, dan edukatif yang sangat dalam.
Ia mengajarkan solidaritas, kepedulian, dan keadilan sosial. Kurban menjadi momentum untuk berbagi kebahagiaan, mempererat silaturahmi, serta menumbuhkan rasa empati terhadap sesama.
Lebih dari itu, kurban juga menjadi sarana pendidikan spiritual yang sangat kuat bagi anak-anak—mereka belajar tentang keikhlasan, ibadah, dan tanggung jawab sosial, terutama berbakti kepada kedua orang tuanya.
Kurban yang sesungguhnya adalah ibadah hati yang ikhlas. Ia adalah tanda kepasrahan kepada Allah sekaligus wujud kasih sayang kepada sesama. Jika hanya menyembelih hewan tanpa memahami nilai-nilai di baliknya, maka kurban kehilangan ruhnya. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Hajj ayat 37:
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu.”
Pengorbanan Orang Tua
Dari titik ini, izinkan saya mengajak kita semua merenungi satu jenis pengorbanan yang kadang luput kita sadari: pengorbanan orang tua terhadap anak-anaknya. Pernahkah kita duduk sejenak dan merenungkan seberapa besar cinta orang tua kepada kita? Sejauh apa pengorbanan mereka selama ini? Dan… sudahkah kita membalas semua itu dengan ketulusan yang sama?
Sejak kita hadir di dunia, cinta orang tua tak pernah absen. Seorang ibu mengandung dalam kelelahan, menggendong dengan penuh kasih, menyusui, menjaga saat kita demam, memandikan ketika kita belum bisa membersihkan diri sendiri, menyuapi saat kita belum mandiri, memapah ketika belajar berjalan.
Sementara seorang ayah, mungkin tak sempat berkata banyak, tetapi dia banting tulang siang malam, memikirkan biaya makan, sekolah, kuliah, kebutuhan rumah tangga, bahkan hanya demi membeli mainan kecil yang kita minta.
Orang tua memberikan hidup mereka—sedikit demi sedikit. Waktu mereka? Habis untuk kita. Tenaga mereka? Dihabiskan demi kita. Harta mereka? Dikorbankan untuk pendidikan dan masa depan kita. Mereka tidak pernah meminta bayaran. Bahkan tidak berharap dibalas. Mereka hanya ingin satu: anaknya bahagia dan menjadi orang baik.
Namun, waktu terus berjalan. Kita tumbuh dewasa. Kesibukan mulai mengalihkan perhatian. Ambisi mulai mengisi hari-hari kita. Dan perlahan, kita mulai lupa.
Saat orang tua mulai menua—tulang mereka melemah, penglihatan kabur, suara makin lirih, langkah tak lagi kuat—yang mereka butuhkan bukan harta, bukan kemewahan, tetapi perhatian dan kasih sayang dari anak-anak yang dulu mereka besarkan dengan air mata dan doa.
Tapi betapa seringnya kita sibuk dengan pekerjaan, padahal dulu mereka tak pernah bilang “sibuk” saat kita menangis di malam hari.
Betapa seringnya kita hitung-hitungan uang ketika orang tua butuh bantuan, padahal mereka tak pernah menghitung berapa rupiah yang habis demi membayar sekolah kita.
Betapa seringnya kita cuek dengan kesehatan mereka, padahal mereka dulu tak tidur semalaman hanya karena kita demam sedikit.
Islam mengangkat derajat orang tua dengan sangat tinggi. Balas budi kepada mereka bukan hanya soal etika, tapi kewajiban suci yang berdampingan dengan ibadah kepada Allah. Sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-Isra’ ayat 23–24:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua. Jika salah satu dari keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka jangan sekali-kali kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan jangan kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang, dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka sebagaimana mereka telah mendidikku waktu kecil.’”
Rasulullah Saw. juga bersabda:
“Sungguh hina, sungguh hina, sungguh hina!”
Para sahabat bertanya, “Siapa yang hina, ya Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Orang yang mendapati kedua orang tuanya atau salah satunya dalam keadaan tua, tetapi dia tidak masuk surga (karena tidak berbakti kepada mereka).” (H.R. Muslim)
Ini bukan sekadar imbauan, tapi peringatan keras dari Nabi Saw. bahwa anak yang tidak berbakti kepada orang tuanya akan kehilangan peluang besar untuk meraih surga.
Coba bayangkan: Seorang ibu rela berjalan kaki jauh ke pasar untuk menjual kue demi membayar SPP anaknya. Seorang ayah rela menahan sakit gigi berhari-hari tanpa berobat, karena uangnya dipakai untuk membeli seragam anaknya.
Namun saat mereka butuh bantuan di hari tua—anaknya justru terlalu sibuk. “Nanti dulu, Bu, lagi rapat.” “Maaf, Yah, belum bisa bantu, banyak cicilan.”
Mereka tidak minta dibalas sepenuhnya. Mereka hanya ingin ditemani. Disapa. Diperhatikan. Didoakan.
Sudahkah kita bertanya pada diri sendiri?
Kapan terakhir kita memeluk ibu dan berkata, “Terima kasih, Bu. Aku sayang Ibu”?
Kapan terakhir kita menelepon ayah hanya untuk bertanya kabarnya—bukan untuk meminta bantuan?
Kapan terakhir kita mendoakan mereka dengan sungguh-sungguh setelah salat?
Jika hari ini orang tua kita masih hidup, maka itu adalah kesempatan emas yang tak ternilai. Jangan tunggu mereka pergi, lalu kita hanya bisa menangis di pusara. Karena mereka tak lagi bisa mendengar tangisan kita.
Dan jika mereka telah tiada, maka tetaplah berbakti: doakan mereka, bersedekahlah atas nama mereka, teruskan amal baik mereka, sambung silaturahmi dengan sahabat-sahabat mereka. Karena cinta orang tua adalah cinta langit yang dititipkan Allah kepada kita di bumi. Jangan biarkan cinta itu sia-sia.
اللهم اغفر لي ولوالديّ وارحمهما كما ربياني صغيراً
“Ya Allah, ampunilah aku dan kedua orang tuaku, dan sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecil.” (#)
Penyunting Mohamamd Nurfatoni
Sumber : https://tagar.co/cinta-orang-tua-yang-sering-terlupakan/